Oleh: Andre Vincent Wenas MM MBA*
Empat tahun lalu ada judul berita cukup mentereng, “Duit Rp 379 M Per Tahun dari Pemprov DKI Digunakan untuk Uang Bau hingga Infrastruktur di Bekasi” (Kompas.com, 25 Oktober 2021). Itu anggaran yang dialokasikan Jakarta untuk buang sampah di Kota Bekasi.
Persoalan sampah di Jakarta jadi lumayan beres, tapi apakah lumayan beres juga buat Kota Bekasi? Jawabannya cukup ‘straight-forward’: sama sekali tidak! Warga Kota Bekasi relatif hidup di atas sampah warga Jakarta, dan pemerintah Kota Bekasi terkesan tidak peduli.
Lalu beberapa waktu lalu ada berita dari media di Kota Bekasi (BekasiMedia.com, 3 Juni 2025) yang mengangkat pernyataan Wakil Ketua Komisi 2 DPRD Kota Bekasi, Yenny Kristianti dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Ia menyoroti kurangnya keterbukaan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terhadap DPRD, yang berdampak langsung pada lemahnya informasi terkait serapan anggaran APBD di semester pertama 2025.
Menurut Yenny, minimnya publikasi program kerja OPD menyulitkan DPRD untuk menjalankan fungsi parlemen gegara OPD kurang memublikasikan program kerja mereka, sehingga para wakil rakyat juga tidak tahu penyerapan anggaran APBD ke mana saja dan daerah mana yang sudah menyerap.
Instansi yang mendapat sorotan tajam dari Yenny Kristianti adalah Dinas Lingkungan Hidup (DLH), terutama terkait pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Sumurbatu dan Bantargebang. Jelas ini soal pengelolaan sampah yang amatiran.
Yenny Kristianti mengkritisi bahwa pengawasan yang dilakukan Dinas Lingkungan Hidup dinilainya sangat lemah, terutama setelah ditemukan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) rumah sakit di area TPA.
“Kalau ada kasus, kita minta konfirmasi, mereka bilang sudah melakukan ini dan itu. Tapi tetap saja, komunikasi dan informasi dari OPD kepada dewan masih sangat kurang,” tegas Yenny.
Sejak empat tahun lalu Pemerintah Kota Jakarta telah mengucurkan duit ratusan miliar ke kas Pemerintah Kota Bekasi sebagai kompensasi pembuangan sampah warga Jakarta.
Nampaknya hingga sekarang pemerintah Kota Bekasi masih mengandalkan duit itu sebagai pendapatan rutin. Tanpa pernah dipikirkan lebih lanjut mau dibuat apa tumpukan sampah itu. Apa strategi pengelolaan sampah Kota Bekasi? Tidak jelas.
Ide Pemkot Bekasi paling-paling cuma perluasan kawasan pembuangan sampah Bantar Gebang 1, menyusul Bantar Gebang 2, dan sekarang ada Sumur Batu.
“Uang Bau” yang diberikan Jakarta untuk Kota Bekasi “dinikmati” dua pihak. Pihak pertama yaitu Pemkot Bekasi yang dapat kucuran duit, dan pihak kedua yaitu warga Kota Bekasi yang dapat baunya, tentu saja plus pemandangan yang menjijikan.
Apakah Pemkot Bekasi peduli dengan “penderitaan” warga yang mesti mencium bau sampah setiap detik? Belum lagi warga yang sudah muak dengan meningkatnya intensitas seliweran truk-truk sampah itu di depan rumah mereka?
Nampaknya tidak, yang penting dapat dapat duit tambahan dari kota tetangga. Soal bau itu urusan rumah tangga masing-masing warga Kota Bekasi.
APBD
Kita tengok sebentar profil anggaran Kota Bekasi tahun 2025 ini. Data APBD Murni dari SIKD (Sitem Informasi Keuangan Daerah) per 25 Juni 2025 (sumber dari website Kemenkeu). Besaran APBD Kota Bekasi adalah Rp 6,984 triliun.
Desain pendapatannya di APBD 2025 sebesar Rp 6,798 triliun, realisasinya (per Juni 2025) Rp 1,393 triliun, atau cuma 20,49 persen. Rancangan PAD (Pendapatan Asli Daerah) adalah Rp 4,094 triliun, sedangkan realisasi per Juni 2025 adalah Rp 1,037 triliun atau cuma 25,34 persen.
Pendapatan dari TKDD (Transfer Ke Daerah dan Dana desa) direncanakan sebesar Rp 2,359 trilun, sedangkan realisasinya per Juni 2025 adalah Rp 334,2 miliar, atau cuma 14,16 persennya.
Pendapatan lainnya (Pendapatan Transfer Antar Daerah) sebesar Rp 344,89 miliar, realisasi per Juni 2025 cuma sebesar Rp 22 miliar, atau 6,38 persen. Pos ini rupanya yang merupakan dana kompensasi dari Pemerintah Kota Jakarta.
Sisi belanja APBD Kota Bekasi sebesar Rp 6,984 triliun, realisasi per Juni 2025 adalah Rp 1,249 triliun, atau cuma 17,89 persen. Ini terdiri dari Belanja Pegawai Rp 2,730 triliun, realisasi Rp 744,41 miliar atau cuma 27,27 persen. Belanja Barang dan Jasa Rp 2,763 triliun, realisasi per Juni 2025 Rp 449,22 miliar atau 16,26 persen.
Sedangkan Belanja Modalnya dirancang sebesar Rp 1,136 triliun, realisasinya sebesar Rp 3,14 miliar saja atau cuma 0,28 persen. Dan pos Belanja Lainnya sebesar Rp 355,24 miliar, realisasinya Rp 52,65 miliar, atau cuma 14,82 persen.
Dalam perjalanan selama hamper 6 bulan ini nampaknya penyerapan anggarannya masih sangat minim. Dan ini rupanya yang menjadi perhatian wakil rakyat itu. Pos mana saja yang perlu dievaluasi secara ketat dan rinci? Dan mengapa kesenjangan ‘plan’ versus ‘actual’-nya begitu lebar? Apa yang telah terjadi? Lalu bagaimana tindak lanjut atau action-plan-nya?
Ini jelas butuh transparansi dalam pengelolaan anggaran daerahnya, Wali kota dan setiap OPD di bawahnya harus (wajib) memaparkan program-program kota di hadapan parlemen beserta anggarannya secara terbuka dan rinci. Sehingga akuntabilitasnya jelas dan transparan. Ini pengelolaan uang rakyat, bukan uang nenek moyang.
Sehingga ujungnya, visi kota yang berbunyi mentereng, “Kota Bekasi yang Nyaman dan Sejahtera”, bisa benar-benar terealisasi, bukan jadi kota sampah, amburadul, bau dan tentu saja sama sekali tidak nyaman dan sejahtera.
*Pemerhati ekonomi dan politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Perspektif (LKSP), Jakarta.