Rakyat Marah atas Manuver DPR dan Pemerintah Anulir Putusan MK

Sejumlah elemen masyarakat berunjuk rasa di depan Gedung DPR, Kamis (22/8/2024) menolak revisi UU Pilkada. Foto: Tangkapan layar

Share

Jakarta – Peneliti The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII) Christina Clarissa Intania menyerukan bahwa rakyat berhak marah atas ketidakpatuhan DPR terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Pilkada.

“Rakyat mulai jenuh dengan penyalahgunaan-penyalahgunaan proses legislasi yang tidak mencerminkan kepentingan umum, mengesampingkan demokrasi, serta memanipulasi hukum. Ini dilakukan elit politik, pemerintah, partai politik, lembaga peradilan, DPR, dan penyelenggara pemilu,” kata Christina dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (22/8/2024).

“Putusan MK yang final dan mengikat saja tidak ditaati, tentu saja masyarakat menjadi geram dan memilih untuk terjun langsung ke lapangan berunjuk rasa,” sambungnya.

Kamis pagi sejak pukul 09.00 WIB sejumlah elemen masyarakat menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung DPR RI, menuntut DPR tidak mengesahkan RUU Pilkada yang bisa menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024.

Elemen masyarakat yang berdemo di depan gedung DPR adalah para guru besar, mahasiswa, buruh, Indonesia Corruption Watch (ICW), hingga Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Baca Juga  Peringatan Darurat dan Seruan Perlawanan  

“ICW ngantor di depan DPR bersama mahasiswa, buruh, dan semua orang yang muak dengan Jokowi dan DPR,” demikian tulis ICW di akun Instagramnya @sahabaticw.

Sementara itu depan Gedung DPR sudah dijaga ketat petugas kepolisian. Terlihat sudah ada mobil rantis disiagakan. Demo digelar mulai pukul 09.00 WIB dan akan berlanjut juga di Patung Kuda.

Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombes Pol Susatyo Purnomo Condro mengatakan, 3.286 personel gabungan disebar di dua lokasi yang menjadi titik konsentrasi massa.

“Di Patung Kuda. 1.273 (personel). Di DPR 2.013 personel,” kata Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Susatyo Purnomo Condro kepada wartawan, Rabu (22/8).

Demonstrasi ditujukan sebagai kritik atas akan disahkannya Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang tidak mengakomodir hasil Putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat pencalonan kepala daerah sebelumnya.

Christina mengingatkan bahwa demonstrasi adalah bentuk hak konstitusional rakyat untuk berekspresi dan berpendapat yang harus dijamin dan dilindungi. Makanya segala bentuk kekerasan kepada masyarakat sipil peserta demo harus dicegah.

Baca Juga  Hanya 12 Komponen Ini yang Boleh Dibiayai Dana BOS Reguler

Dia berharap aparat menjaga keamanan demonstrasi sesuai porsinya dan bisa membedakan usaha penjagaan keamanan dengan yang sudah mencelakakan rakyat sipil dan melanggar hak asasinya.

Apabila terjadi penangkapan harus dilakukan berdasarkan prosedur hukum acara yang berlaku dan tetap mengedepankan hak asasi dari demonstran yang ditahan. Bantuan hukum tetap harus bisa diakses oleh siapa pun yang ditahan.

“Demokrasi kita sudah di ambang batas, jangan sampai akses keadilan dan kebebasan berekspresi, maupun kebebasan rakyat sipil juga dihilangkan,” pungkasnya.

Dua materi krusial

Sebelumnya, Rabu (21/8) Badan Legislasi DPR RI dan pemerintah menyetujui untuk melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 atau RUU Pilkada pada rapat paripurna DPR terdekat guna disahkan menjadi undang-undang.

Terdapat dua materi krusial RUU Pilkada yang disepakati dalam Rapat Panja RUU Pilkada hari ini. Pertama, penyesuaian Pasal 7 UU Pilkada terkait syarat usia pencalonan sesuai dengan putusan Mahkamah Agung.

Baca Juga  Taiwan Vonis Penjara 8 Orang Diduga Mata-Mata China

Pasal 7 ayat (2) huruf e, disepakati berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih.

Kedua, perubahan Pasal 40 dengan mengakomodasi sebagian putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah ketentuan ambang batas pencalonan pilkada dengan memberlakukannya hanya bagi partai nonparlemen atau tidak memiliki kursi di DPRD.

Partai yang memiliki kursi di DPRD tetap mengikuti aturan lama, yakni minimal 20 persen perolehan kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara sah.

Saat ini khusus di Jakarta, PDI Perjuangan menjadi satu-satunya partai politik yang tidak memiliki rekan koalisi karena partai politik lainnya bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus mengusung pasangan Ridwan Kamil dan Suswono pada Pilkada 2024.

 

red

Share

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *