Sebuah Analisis Intelijen Oleh: Josef Herman Wenas
Abdurrahman Wahid beserta rombongan bertolak ke AS pada Rabu, 10 November 1999, dan diagendakan bertemu Presiden Amerika Serikat Bill Clinton pada Jumat, 12 November 1999. Saat itu, Gus Dur menjabat Presiden RI belum ada sebulan, terpilih 20 Oktober 1999.
Jadi, ini misi khusus terutama terkait dengan 𝘖𝘱𝘦𝘯 𝘚𝘰𝘤𝘪𝘦𝘵𝘺 𝘍𝘰𝘶𝘯𝘥𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯-nya George Soros untuk mendukung upaya Gus Dur menertibkan militer kita. Antara lain, “Konflik Ambon”, “Konflik Poso,” yang seperti itu perlu dikawal dengan penguatan 𝘤𝘪𝘷𝘪𝘭 𝘴𝘰𝘤𝘪𝘦𝘵𝘺.
Begitu konteksnya saat itu, secara singkat.
Banyak yang tidak tahu, pada saat bertolak tanggal 10 November 1999 itu, dan Gus Dur beserta rombongan sudah duduk di pesawat 𝘢𝘣𝘰𝘶𝘵 𝘵𝘰 𝘵𝘢𝘬𝘦 𝘰𝘧𝘧, sebetulnya Kemlu dan Setneg masih menunggu kepastian protokoler dari pihak Gedung Putih.
Ini hal yang sama sekali tidak lazim. Sangat membuat keringat dingin para pejabat terkait tadi. Tapi Gus Dur 𝘤𝘶𝘦𝘬 saja. Dia perintahkan agar pesawat kepresidenan segera 𝘵𝘢𝘬𝘦 𝘰𝘧𝘧.
Ternyata pertemuan Gus Dur-Clinton terlaksana. Awalnya protokoler Gedung Putih menjadwalkan hanya 30 menit. Namanya juga dadakan. Faktanya, pertemuan itu sampai 90 menit!
Berkali-kali, di sela-sela pertemuan itu, perut Clinton dikocok oleh lawakan-lawakan Gus Dur.
Mana pula Gus Dur datang ke Gedung Putih pakai acara terlambat. Sangat. Padahal dari Watergate Hotel ke Gedung Putih jaraknya cuma 1,9km. Masak iya telatnya sampai 1 jam? Ha ha ha…
Wartawan yang nungguin juga ngomel-ngomel. Gara-gara sehari sebelumnya Presiden Perancis Jacques Chirac juga telat datang ke Gedung Putih, padahal cuma 5-10 menitan.
Para wartawan itu kemudian berhenti ngomel, gara-gara dikocok juga perutnya oleh Gus Dur. Pertanyaan-pertanyaan mereka dijawab dalam bahasa mereka masing-masing (Inggris, Perancis, Spanyol) sambil disisipkan berbagai lawakan.
**
Jadi, kalau pihak otoritas Indonesia— Kemlu, Setneg— belum bisa memberikan konfirmasi kepada Presiden Wahid yang sudah duduk di pesawat, lalu siapa 𝘥𝘰𝘯𝘨? Siapa yang membuat Gus Dur yakin memerintahkan agar pesawat kepresidenan segera berangkat dari Halim Perdanakusuma?
Sebetulnya Gus Dur sudah dapat konfirmasi intelijen. Selebihnya tinggal urusan formalitas saja. Dan hal itu diatur di atas pesawat, entah di ketinggian berapa dan pada koordinat berapa. Yang penting pesawat itu tetap mendarat di Andrews Airfoce Base, Washington DC, dan diperlakukan sesuai protokoler tamu kenegaraan lazimnya, sampai Gus Dur diterima di pintu Gedung Putih.
Tetapi intelijen mana? Yang tahu itu, ya, Gus Dur sendiri. Dan pamannya si Najwa Shihab, yang saat itu jadi boss saya di PKB. Kebetulan saat itu saya sedang membantu Pak Alwi dalam urusan luar negeri PKB, khususnya misi Israel.
Yang jelas jaringan intelijen ini berhasil mengocok-ulang jadwal Presiden Clinton demi kedatangan Gus Dur. Dari 𝘧𝘪𝘳𝘴𝘵 𝘵𝘩𝘪𝘯𝘨𝘴 𝘧𝘪𝘳𝘴𝘵 menjadi 𝘭𝘢𝘴𝘵 𝘵𝘩𝘪𝘯𝘨 𝘧𝘪𝘳𝘴𝘵. Ha ha ha…
**
Prof Karlina Supelli dari STF Driyarkara itu mengkritik soal sesat pikir yang disebutnya sebagai 𝘱𝘰𝘴𝘵 𝘧𝘢𝘤𝘵𝘶𝘮 𝘧𝘢𝘭𝘭𝘢𝘤𝘺. Intinya jangan lakukan apapun yang tidak ada aturannya. Atau jangan mengubah aturan untuk menyesuaikan keadaan yang sudah terjadi/dipraktekkan terlebih dahulu.
Jadi, Prof Karlina maunya mengurus negara itu harus 𝘢𝘯𝘵𝘦 𝘧𝘢𝘤𝘵𝘶𝘮. Yaitu, semua aturan dipersiapkan dulu sebelumnya. Tidak boleh 𝘱𝘰𝘴𝘵 𝘧𝘢𝘤𝘵𝘶𝘮. Inilah tertib pikir— menurut Prof Karlina.
Ya, beliau memang seorang guru besar filsafat. Terhormat. Tetapi tidak paham politik! Tidak paham bahwa politik itu seni 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻𝘁𝗶𝘀𝗶𝗽𝗮𝘀𝗶 𝗱𝗶𝗻𝗮𝗺𝗶𝗸𝗮 𝗶𝗽𝗼𝗹𝗲𝗸𝘀𝗼𝘀𝗯𝘂𝗱𝗵𝗮𝗻𝗸𝗮𝗺 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗯𝗶𝘀𝗮 𝗱𝗶𝗸𝗼𝗻𝘁𝗿𝗼𝗹.
Bayangkan kalau pertemuan Gus Dur-Clinton mengikuti alur pikir 𝘢𝘯𝘵𝘦 𝘧𝘢𝘤𝘵𝘶𝘮— seperti diinginkan Prof Karlina— bukannya 𝘱𝘰𝘴𝘵 𝘧𝘢𝘤𝘵𝘶𝘮 seperti yang dilakukan Gus Dur di atas.
Pertemuan Gus Dur-Clinton pasti tidak terjadi.
Bayangkan bila Presiden Jokowi pada Maret 2020 mengikuti alur pikir 𝘢𝘯𝘵𝘦 𝘧𝘢𝘤𝘵𝘶𝘮-nya Prof Karlina, dan tidak menunjuk prajurit TNI aktif yang namanya Letjen Doni Monardo ke jabatan Kepala BNPB untuk menangani Covid-19?
Betul, kebijakan Presiden Jokowi itu 𝘱𝘰𝘴𝘵 𝘧𝘢𝘤𝘵𝘶𝘮, karena Kepala BNPB 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗷𝗮𝗯𝗮𝘁𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗶𝘀𝗮 𝗱𝗶𝗶𝘀𝗶 𝗼𝗹𝗲𝗵 𝗽𝗿𝗮𝗷𝘂𝗿𝗶𝘁 𝗧𝗡𝗜 𝗮𝗸𝘁𝗶𝗳. Melanggar UU? Tentu saja! Tetapi baca juga 𝘥𝘰𝘯𝘨 Pasal 60 dalam UU TNI (34/2004) tentang keadaan darurat.
Kalau bukan TNI-Polri yang diperbantukan urusan Covid-19, maka 𝘭𝘰𝘤𝘬𝘥𝘰𝘸𝘯 terbatas di berbagai daerah itu bisa dikuasai preman-preman setempat (entah yang pakai daster atau seragam loreng) dengan segala siasat punglinya. Distribusi vaksin bisa dikorup oleh kaum sipil juga.
Sekarang Anda paham bedanya cara pikir negarawan dan filsuf, kan?