Oleh: Achmad Nur Hidayat (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)
Penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) tentang APBN 2025 tidak hanya menimbulkan kontroversi terkait konsentrasi kekuasaan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), tetapi juga sinyal kebijakan fiskal yang cenderung memberatkan masyarakat luas.
Salah satu isu yang menjadi sorotan adalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, yang disebut-sebut akan diikuti oleh program pengampunan pajak atau tax amnesty.
Kombinasi kebijakan ini menunjukkan arah fiskal yang tidak pro-rakyat, terutama kelompok menengah ke bawah, dan menguatkan persepsi bahwa kepemimpinan Presiden Prabowo lebih mengutamakan kepentingan para pengemplang pajak dan orang kaya.
Kenaikan PPN dan Daya Beli Masyarakat
PPN adalah pajak konsumsi yang berlaku untuk seluruh lapisan masyarakat, terlepas dari tingkat pendapatan mereka.
Sifat regresif pajak ini membuat beban PPN lebih terasa oleh kelompok berpenghasilan rendah dan menengah, karena persentase pengeluaran mereka yang digunakan untuk konsumsi lebih besar dibandingkan kelompok kaya.
Dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi, kenaikan PPN menjadi 12 persen akan semakin menekan daya beli masyarakat.
Kelompok masyarakat menengah ke bawah, yang sebagian besar berpenghasilan pas-pasan, akan langsung merasakan dampaknya pada kebutuhan sehari-hari, termasuk pangan, pendidikan, dan kesehatan.
Meskipun pemerintah mungkin menjanjikan kompensasi berupa bantuan sosial, pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa distribusi bantuan sering kali tidak tepat sasaran, dan nilainya tidak cukup untuk menutup beban tambahan akibat kenaikan pajak.
Kebijakan ini juga akan berdampak pada sektor usaha, terutama usaha kecil dan menengah (UMKM), yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.
Kenaikan PPN akan meningkatkan biaya produksi dan harga jual, sehingga daya saing produk UMKM, baik di pasar domestik maupun ekspor, akan terancam.
Kondisi ini dapat memperlambat pemulihan ekonomi yang masih rapuh dan menekan penciptaan lapangan kerja baru.
Tax Amnesty: Insentif untuk Pengemplang Pajak
Rencana pemerintah untuk menaikkan PPN dan diikuti oleh program tax amnesty mencerminkan ironi dalam kebijakan fiskal.
Di satu sisi, masyarakat umum dibebani kenaikan pajak konsumsi, sementara di sisi lain, para pengemplang pajak dan orang kaya justru diberikan kesempatan untuk melegalkan kekayaan mereka dengan tarif yang lebih rendah.
Kebijakan ini memberikan sinyal kuat bahwa pemerintah lebih peduli terhadap kepentingan kelompok elit daripada meningkatkan keadilan fiskal.
Program tax amnesty sebelumnya telah menimbulkan kontroversi, terutama karena banyak pengemplang pajak yang memanfaatkan kesempatan ini tanpa memberikan kontribusi yang berkelanjutan terhadap sistem perpajakan.
Tax amnesty yang dirancang untuk meningkatkan basis pajak dalam jangka panjang justru cenderung memberikan insentif kepada wajib pajak nakal untuk terus menghindari pajak dengan harapan akan ada amnesti berikutnya.
Dalam konteks ini, kebijakan tax amnesty yang diiringi kenaikan PPN menjadi gambaran nyata bahwa pemerintah lebih memprioritaskan pengumpulan dana secara cepat daripada melindungi daya beli masyarakat.
Hal ini juga menunjukkan kegagalan dalam membangun sistem perpajakan yang adil dan efektif.
Kepemimpinan Prabowo: Memihak Siapa?
Kombinasi kebijakan ini juga memberikan gambaran tentang arah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto yang tampaknya lebih berpihak pada kepentingan kelompok kaya daripada rakyat banyak.
Kebijakan fiskal seperti kenaikan PPN dan tax amnesty mencerminkan keberpihakan terhadap mereka yang memiliki kekuatan ekonomi dan kemampuan melobi, sementara kelompok menengah ke bawah terus menghadapi tekanan ekonomi.
Langkah ini semakin memperjelas sinyal bahwa pemerintahan Prabowo tidak memiliki keberanian untuk mereformasi sistem perpajakan yang progresif dan adil.
Padahal, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia adalah ketimpangan ekonomi yang semakin melebar.
Dengan membebankan pajak konsumsi yang lebih tinggi kepada masyarakat umum dan memberikan insentif kepada pengemplang pajak, pemerintah justru memperparah ketimpangan tersebut.
Lebih jauh lagi, kebijakan ini mencerminkan pola pikir pemerintahan yang lebih mementingkan kebutuhan jangka pendek, seperti menambal defisit anggaran, daripada membangun fondasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Dalam situasi seperti ini, janji-janji politik untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat hanya menjadi retorika kosong yang tidak memiliki pijakan pada kebijakan nyata.
Implikasi Sosial dan Ekonomi
Kombinasi kenaikan PPN dan tax amnesty memiliki dampak yang tidak bisa diabaikan terhadap stabilitas sosial dan ekonomi.
Ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan ini berpotensi memicu protes dan mengganggu kestabilan politik.
Sementara itu, sektor usaha kecil dan menengah, yang seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi, akan menghadapi tekanan yang semakin besar.
Dalam jangka panjang, kebijakan seperti ini dapat melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Ketika masyarakat merasa bahwa kebijakan fiskal hanya menguntungkan segelintir orang kaya, sementara mayoritas harus menanggung beban yang lebih berat, legitimasi pemerintah akan dipertanyakan.
Hal ini juga dapat menghambat upaya pemerintah untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam sistem perpajakan.
Kenaikan PPN menjadi 12 persen yang diiringi dengan tax amnesty menunjukkan arah kebijakan fiskal yang tidak pro-rakyat.
Dalam situasi di mana daya beli masyarakat belum pulih sepenuhnya, kebijakan ini tidak hanya akan menekan konsumsi rumah tangga, tetapi juga memperbesar ketimpangan ekonomi.
Sementara itu, tax amnesty menjadi bukti nyata bahwa pemerintah lebih peduli terhadap kelompok elit daripada menciptakan sistem perpajakan yang adil dan inklusif.
Kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menghadapi ujian besar untuk menunjukkan keberpihakan yang nyata kepada rakyat banyak.
Kebijakan fiskal yang saat ini dirancang mencerminkan pendekatan yang lebih mementingkan kepentingan jangka pendek dan kelompok kaya, daripada membangun ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Jika arah kebijakan ini tidak diubah, pemerintah akan kehilangan momentum untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat dan menciptakan keadilan ekonomi yang sejati.
***
#apbn#apbn#apbn#apbn#apbn#apbn#apbn#apbn