Jayapura – Literasi masih menjadi isu utama di Papua karena masih banyak anak-anak Papua yang belum bisa membaca dan menulis. Beberapa faktor yang menjadi kendala literasi berkisar dari ketiadaan guru, fasilitas, budaya, dukungan lingkungan, hingga minat.
Menurut Maiton Gurik, penggerak literasi dari Peace Literacy Institute Indonesia, kendala literasi anak-anak Papua di antaranya akses dan keterbatasan guru, kurangnya fasilitas pendukung seperti buku cerita, bahan ajar yang kontekstual, serta tempat mengajar yang kurang memadai. Namun selain itu, minat baca tulis juga masih sangat rendah.
“Kami pengiat literasi sejak 2014 konsisten mengampanyekan pentingnya literasi di Papua. Saat turun sosialisasi literasi ke daerah dan kampung, banyak kami temukan siswa SMP tidak bisa membaca,” katanya di Jayapura, Papua, Sabtu (5/10/2024).
Gurik juga mengatakan ada faktor budaya rumpun orang Papua dari 7 wilayah adat hingga ke Papua Nugini yang lebih dominan budaya verbal atau bicara ketimbang membaca dan menulis.
“Ada faktor budaya Papua lebih suka bicara daripada membaca. Bahkan tidak suka menulis juga. Itu kesimpulan orang Melanesia hari ini yang saya dapat dari berbagai sumber. Maka hari ini Papua dikatakan rendah dalam minat baca karena itu memang budayanya seperti itu,” katanya.
Itu bisa dilihat hingga ke kampung-kampung di mana masyarakat lebih banyak bicara daripada membaca. “Itu menjadi satu alasan teman-teman terus bergerak mengampanyekan pentingnya membaca bagi orang Papua,” katanya.
Ia mengambil contoh satu kasus lainnya, seorang anak SD kelas enam juga belum bisa membaca tetapi dari segi usia sudah bisa ke tahap SMP. Alhasil karena tidak bisa membaca ia tak bisa lanjutkan ke jenjang SMP, lalu memilih kawin.
Bahkan menurut dia, beberapa mahasiswa dari daerah dan berkuliah di Universitas Cenderawasih dan USTJ masih kesulitan menulis.
“Suruh baca, agak lama dan berat dan ini mahasiswa, baru dua kampus yang kita ketemu belum lagi kampus yang lain, apalagi yang ada di kampung-kampung sana bagaimana,” katanya.
Gurik biasa diundang mahasiswa untuk bicara terkait literasi di asrama-asrama. Menurutnya, kemampuan mahasiswa untuk bertanya masih lemah.
“Khususnya orang Papua, kalau dia tidak bisa atau mundur malas belajar jangan biarkan tapi terus bimbing dia, kawal dia hingga dia benar-benar bisa itu yang saya dapat kalau mau mendidik orang Papua,” katanya.
Komunitas Gurik bergerak di isu literasi, hal pertama yang mereka kerjakan adalah mengajak teman-teman membuka ruang dan diskusi.
“Kemudian kami ajar teman-teman, baik di asrama, kabupaten, dan distrik. Juga di kampung kami ajak mereka buka rumah baca. Puji Tuhan hampir di semua kabupaten di Papua di 7 wilayah adat teman-teman sudah bergerak untuk meningkatkan literasi di Papua, mereka buka itu dengan inisiatif mereka sendiri,” katanya.
Gurik mengupayakan donasi buku dari berbagai pihak, kemudian mendistribusikan ke daerah-daerah yang dikunjungi, seperti Demta, Tarfia, Genyem, Puay, Arso.
“Ini juga masukan untuk kepala sekolah dan para guru, kasus di Papua ini sekolahnya bagus, megah, tapi perpustakaan sekolahnya tidak ada. Kalau begini SDM masa depan Papua tidak ada. Sudah begitu, gurunya pemalas masuk,” ujarnya.
Kasus-kasus guru tidak datang mengajar, menurut Gurik menjadi penyebab anak-anak malas sekolah dan memilih bermain lalu pulang.
“Makanya penting ada perpustakaan di sekolah, misalnya tidak ada guru maka anak itu bisa datang ke perpustakaan,” katanya.
Peace Literacy Institute Indonesia, menurut Gurik adalah komunitas atas dasar inisiatif sendiri, tidak ada sponsor dari pemerintah. Komunitas ini bergerak karena peduli terhadap pendidikan orang Papua.
“Banyak kendala saat kami turun. Misalnya ada diskusi literasi di Wamena dan karena di Wamena ada beberapa rumah baca yang dibuka, maka harus bawa buku ke sana. Kendalanya di biaya. Hampir semua kegiatan literasi kami terkendala biaya,” lanjutnya.
“Pemerintah sudah melihat gerakan kami dan mereka mengapresiasi. Tapi hanya sebatas apresiasi saja, tidak pernah ada dukungan kongkrit,” katanya.
Komunitas literasi Hone Wene Wamena
Neas Wanimbo dari Komunitas literasi Hone Wene Wamena yang juga sebagai penggerak literasi di Papua, melakukan upaya-upaya sebagai penggerak literasi di kampung-kampung, seperti daerah pegunungan Wamena, Lanny Jaya, Yahukimo, dan Yalimo.
Mereka bergerak bersama masyarakat dan bekerja sama dengan gereja dan sekolah. Mereka juga juga pergi ke rumah-rumah untuk mengajarkan anak-anak dan juga masyarakat sebagai upaya untuk meningkatkan literasi di kampung-kampung.
“Buta huruf masih tinggi. Di pendalaman, banyak yang tidak bisa baca, sedangkan umur sudah dewasa juga sudah sekolah. Literasi sangat penting apalagi sekarang zaman digital, jadi membangun kesadaran sangat penting sekali,” katanya.
Dari berbagai upaya yang sudah dilakukan selama ini, Wanimbo melihat mulai banyak anak muda sadar pentingnya literasi. Mulai muncul komunitas yang lakukan pergerakan membuka taman baca, inisiatif sendiri bukalapak baca, dan buka perpustakaan seperti yang dilakukan teman-teman di Yahukimo yang membuka perpustakaan di jalan.
Aktivitas itu juga melibatkan kepala suku dan kepala kampung memberikan motivasi. “Dan kasih tahu perubahan di kota-kota, kita mengajar juga pengelolaan keuangan dan lainnya karena termasuk bagian dari literasi,” kata Wanimbo.
Dia mengaku belum ada komunikasi dengan pemerintah soal peluang bekerja sama.
“Kami berharap ke depannya bisa. Saat ini jalan sendiri. Kalau pemerintah mau bantu, silakan,” katanya.
Wanimbo yakin minat baca akan naik jika ada perpustakaan dan komunitas menarik orang datang. “Misalnya membuat kegiatan atau acara di perpustakaan untuk menarik orang datang. Kalau kita taruh buku saja, yang datang sedikit atau hanya datang saat perlu,” lanjutnya.
Menurutnya, pemerintah perlu mewajibkan siswa dan mahasiswa datang ke perpustakaan.
Sumber: Jubi.id