Jakarta – Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) belum terhenti. Data terbaru yang dilansir oleh Kementerian Ketenagakerjaan pada Senin (9/9/2024) melaporkan selama Juli lalu terjadi 10.799 PHK di Indonesia.
Angka tertinggi sepanjang tahun ini sehingga total PHK selama 2024 mencapai 42.863 orang. Jumlah tersebut melonjak 36 persen dibandingkan dengan periode Januari-Juli 2023.
Gelombang PHK ini berpotensi melampaui tahun lalu yang tertinggi sejak 2021, yakni mencapai 64.855 pekerja.
Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital Celios belum lama ini menyebut pertumbuhan ekonomi belakangan tidak berkualitas. Salah satu indikatornya adalah terlalu kedap dalam menyerap tenaga kerja.
PMI Manufaktur juga terus melambat dalam beberapa bulan terakhir, yang terus menekan sektor manufaktur.
Menurut dia, UU Cipta Kerja juga tak ada gunanya karena tidak ada investasi yang masuk membawa penyerapan tenaga kerja. Sebaliknya sektor industri porsinya terus menurun terhadap PDB nasional, dari sekitar 22 persen awal dekade, menjadi 18 persen saat ini.
Praktis tak ada pembangunan pabrik secara masif di zaman Jokowi, sebaliknya yang jamak malah PHK.
Tekstil suram
Sementara Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) belum melihat langkah konkret pemerintah dalam memulihkan sektor industri manufaktur nasional. Hal ini memicu pesimisme produsen terhadap perbaikan kinerja tahun ini.
Berdasarkan data BPS, kinerja pertumbuhan industri tekstil dan pakaian jadi terhadap PDB terkontraksi 0,03 persen (yoy) pada triwulan II-2024. Ini lebih rendah dari triwulan I-2024 yang tumbuh 2,64 persen yoy.
Wakil Ketua Umum API David Leonardi mengatakan pemerintah masih menggodok kebijakan perlindungan perdagangan yang tepat untuk industri. Namun prosesnya memakan waktu panjang dan tidak mudah. API, kata dia, tak optimistis tahun ini industri akan pulih.
Kelesuan usaha tekstil ini juga tercerminkan dari Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Agustus 2024. Industri tekstil masih terkontraksi 3 bulan berturut-turut sejak pemberlakuan relaksasi impor melalui Permendag No. 8/2024.
David menyebutkan, usaha yang paling terdampak yaitu industri kecil menengah yang diadang banjir produk impor ilegal dan daya beli masyarakat yang rendah, sehingga pesanan menurun. Ia meminta pemerintah fokus pada perlindungan dagang dalam negeri.
Menurutnya, jika pasar dilindungi dari produk impor, aktivitas produksi industri akan meningkat dan dapat kembali menyerap tenaga kerja.
(BDS Alliance)