Batalkan Larangan Pengecer Distribusikan LPG 3 Kg

Gas LPG 3 KG. Foto: Dinas Kominfo Jmber

Share

Oleh: Achmad Nur Hidayat
[Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNV]

Pemerintah baru-baru ini memberlakukan kebijakan yang melarang penjualan LPG 3 kg melalui pengecer, mulai 1 Februari 2025.

Alasan utama yang dikemukakan adalah untuk meningkatkan distribusi yang lebih tepat sasaran, menekan potensi penyimpangan, dan memastikan pengendalian harga di masyarakat.

Namun, apakah kebijakan ini benar-benar akan mencapai tujuannya, atau justru menciptakan tantangan baru bagi masyarakat kecil yang sangat bergantung pada LPG 3 kg untuk kebutuhan rumah tangga mereka?

Dampak bagi Masyarakat Kecil

LPG 3 kg selama ini telah menjadi kebutuhan esensial bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Mereka yang selama ini terbiasa membeli di pengecer karena faktor kedekatan dan fleksibilitas, kini harus menghadapi kenyataan bahwa mereka hanya bisa memperoleh gas melon di pangkalan resmi.

Dengan kata lain, ada perubahan sistem distribusi yang signifikan, yang kemungkinan besar akan menyulitkan masyarakat kecil, terutama mereka yang tinggal jauh dari pangkalan resmi.

Mereka yang sebelumnya bisa membeli LPG di warung-warung kecil dekat rumah, kini harus menempuh jarak lebih jauh untuk mendapatkannya.

Hal ini tentunya akan menambah ongkos logistik, baik dalam bentuk biaya transportasi maupun waktu yang lebih lama untuk mendapatkan gas.

Saat ini, biaya tambahan rerata berkisar antara Rp5.000 hingga Rp15.000 per tabung, sehingga harga LPG 3 kg yang semula berkisar antara Rp18.500 hingga Rp23.000 per tabung kini menjadi Rp25.000 hingga Rp38.000 per tabung, tergantung pada daerahnya.

Bagi masyarakat yang bekerja harian atau memiliki penghasilan pas-pasan, pengeluaran tambahan ini akan semakin membebani kehidupan mereka.

Ketimpangan Distribusi dan Aksesibilitas

Tujuan utama kebijakan ini adalah untuk memastikan LPG 3 kg hanya sampai kepada mereka yang benar-benar berhak menerima subsidi.

Namun, kenyataan di lapangan sering kali berbeda dari perencanaan yang dibuat di atas kertas. Masyarakat yang tidak memiliki akses ke pangkalan resmi mungkin akan mengalami kesulitan mendapatkan gas dengan harga yang wajar.

Akibatnya, justru bisa terjadi pasar gelap atau jalur distribusi tidak resmi yang menawarkan LPG dengan harga lebih tinggi karena kelangkaan di tingkat masyarakat bawah.

Dengan kata lain, kebijakan ini berpotensi menciptakan monopoli distribusi di tangan pangkalan resmi, sementara masyarakat kecil yang selama ini mengandalkan pengecer akan kehilangan fleksibilitas dalam mendapatkan gas bersubsidi. Mereka akan dipaksa mengikuti aturan yang tidak sepenuhnya mempertimbangkan kenyataan di lapangan.

Baca Juga  Kemerosotan Mutu Politisi dan Penyelenggara Negara sebagai Produk Pendidikan

Potensi Inflasi dan Kesulitan bagi Masyarakat

Kebijakan pemerintah yang melarang pengecer mendistribusikan LPG 3 kg berdampak lebih luas dari sekadar penyesuaian distribusi.

Larangan ini bukan hanya membatasi akses masyarakat kecil terhadap LPG bersubsidi, tetapi juga meningkatkan biaya logistik yang pada akhirnya berkontribusi langsung terhadap inflasi nasional.

Dengan meningkatnya ongkos transportasi dan aksesibilitas yang terbatas, harga LPG melonjak, dan pelaku UMKM harus menanggung beban tambahan dalam operasional mereka.

Biaya tambahan ini pada akhirnya ditransfer ke harga jual produk dan jasa mereka, yang secara langsung berdampak pada harga-harga kebutuhan pokok di masyarakat.

Selain itu, ketidakmampuan masyarakat untuk mendapatkan LPG 3 kg dengan harga yang terjangkau juga meningkatkan tekanan terhadap daya beli mereka.

Kondisi ini mengurangi kapasitas konsumsi rumah tangga, memperlambat pertumbuhan ekonomi sektor mikro, dan menambah tekanan inflasi yang sudah tinggi akibat faktor eksternal lainnya.

Dengan demikian, kebijakan ini seharusnya dievaluasi kembali, karena dampaknya tidak hanya menimpa penerima manfaat subsidi, tetapi juga mengganggu stabilitas harga nasional.

Pemerintah beralasan bahwa pembatasan distribusi ini akan membantu mengendalikan harga dan mencegah penyimpangan. Namun, realitanya, jika akses masyarakat terhadap LPG 3 kg menjadi lebih terbatas, harga di lapangan bisa semakin tidak terkendali. Dalam mekanisme pasar, kelangkaan akses sering kali berujung pada kenaikan harga.

Jika pangkalan resmi tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dalam jumlah yang cukup, maka akan terjadi peningkatan permintaan yang tidak seimbang dengan pasokan yang tersedia. Hal ini akan memberikan celah bagi pihak-pihak tertentu untuk memainkan harga.

Selain itu, kebijakan ini juga bisa menyebabkan munculnya spekulan yang akan memanfaatkan kelangkaan di tingkat masyarakat bawah untuk menjual LPG dengan harga lebih tinggi dari yang seharusnya.

Akibatnya, masyarakat yang justru seharusnya mendapat subsidi akan tetap menghadapi harga yang mahal, bahkan mungkin lebih tinggi dibandingkan saat mereka masih bisa membelinya dari pengecer.

Pertanyaan Besar: Akankah LPG 3 Kg Tetap Ada untuk Masyarakat Miskin?

Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai masa depan LPG 3 kg sebagai barang bersubsidi bagi masyarakat kecil.

Jika alasan utama kebijakan ini adalah distribusi yang lebih tepat sasaran dan pengendalian harga, maka pemerintah harus secara jelas menjelaskan apakah LPG 3 kg benar-benar masih ditujukan untuk masyarakat miskin atau justru secara perlahan akan dihapuskan.

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KemenESDM), menghitung sekitar 54,9 juta rumah tangga dan 2,29 juta usaha mikro menerima subsidi LPG 3 kg. Dalam APBN 2024, subsidi LPG 3 kg mencapai Rp80,21 triliun, yang menyusun sekitar 45,2% dari total subsidi energi nasional.

Baca Juga  Peristiwa Penting Sektor Ekonomi Sepanjang 2024 dan Dampaknya bagi Kelas Menengah di 2025

Angka ini menunjukkan bahwa LPG bersubsidi masih menjadi beban besar dalam anggaran negara, namun kebijakan pembatasan distribusi melalui pangkalan resmi berisiko menghambat akses bagi masyarakat kecil.

Selain itu, kenaikan biaya logistik akibat pembelian LPG 3 kg di pangkalan resmi akan ditransfer ke harga jual produk UMKM, yang akhirnya akan meningkatkan harga barang dan jasa.

Dengan demikian, kebijakan ini dapat berdampak langsung terhadap inflasi nasional. Jika diasumsikan setiap pelaku usaha mikro mengeluarkan tambahan biaya Rp5.000 hingga Rp15.000 per tabung LPG, maka secara kolektif, kenaikan harga LPG ini akan mempengaruhi harga-harga barang yang diproduksi oleh UMKM, meningkatkan tekanan inflasi dan daya beli masyarakat.

Jika tujuan akhirnya adalah untuk mengurangi penggunaan LPG 3 kg secara bertahap dan menggantinya dengan alternatif lain, maka pemerintah harus berterus terang kepada masyarakat, bukan justru membuat regulasi yang secara perlahan membuat akses terhadap LPG bersubsidi semakin sulit.

Ketidakjelasan mengenai arah kebijakan ini hanya akan menambah kebingungan dan ketidakpastian bagi masyarakat kecil yang sangat bergantung pada gas melon ini.

Jika memang pemerintah berniat untuk mempertahankan LPG 3 kg sebagai subsidi bagi masyarakat miskin, maka seharusnya mereka mencari cara yang lebih efektif dalam menyalurkan subsidi ini tanpa harus membebani masyarakat dengan birokrasi yang berbelit atau menghilangkan akses mereka terhadap barang yang sangat dibutuhkan ini.

Salah satu alternatifnya adalah dengan menerapkan sistem subsidi langsung kepada masyarakat yang berhak, sehingga mereka dapat membeli gas dengan harga bersubsidi tanpa harus bergantung pada jalur distribusi yang kaku dan sulit dijangkau.

Solusi yang Lebih Adil dan Realistis

Pelarangan penjualan LPG 3 kg di tingkat pengecer seharusnya dibatalkan karena menambah beban bagi masyarakat kecil dan pelaku UMKM.

Sebagai alternatif, pemerintah dapat menerapkan sistem distribusi berbasis subsidi langsung kepada masyarakat yang berhak, sehingga mereka dapat membeli LPG dengan harga bersubsidi tanpa harus bergantung pada jalur distribusi yang kaku dan sulit dijangkau.

Pemerintah juga dapat mengadopsi mekanisme distribusi digital yang lebih transparan, seperti sistem kartu subsidi berbasis data yang memastikan hanya mereka yang berhak yang dapat membeli LPG 3 kg dengan harga subsidi.

Baca Juga  Strategi Pembiayaan Indonesia di Tengah Dampak Kemenangan Trump

Dengan cara ini, subsidi dapat lebih tepat sasaran tanpa mengorbankan aksesibilitas bagi masyarakat kecil. Selain itu, perluasan jangkauan pangkalan resmi juga harus diprioritaskan agar masyarakat tetap dapat membeli LPG dengan harga wajar tanpa mengalami kesulitan akses.

Jika ada daerah-daerah yang tidak memiliki pangkalan resmi dalam jarak yang wajar, maka kebijakan ini sebaiknya ditinjau ulang atau diberikan pengecualian agar masyarakat di daerah tersebut tidak mengalami kesulitan.

Dengan menerapkan solusi ini, pemerintah dapat tetap menjaga ketepatan sasaran subsidi tanpa menambah beban ekonomi bagi masyarakat kecil. Salah satunya adalah dengan memperluas jangkauan pangkalan resmi agar bisa lebih dekat dengan masyarakat yang membutuhkan.

Dengan kata lain, jangan hanya membatasi pengecer, tetapi pastikan bahwa jumlah pangkalan resmi cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan harga yang tetap terjangkau. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa sistem distribusi yang baru ini benar-benar berjalan dengan efektif sebelum menerapkannya secara menyeluruh.

Jika ada daerah-daerah yang tidak memiliki pangkalan resmi dalam jarak yang wajar, maka kebijakan ini sebaiknya ditinjau ulang atau diberikan pengecualian agar masyarakat di daerah tersebut tidak mengalami kesulitan.

Selain itu, jika pemerintah benar-benar ingin memastikan LPG 3 kg hanya digunakan oleh mereka yang berhak, maka sistem verifikasi yang lebih transparan dan tidak menyulitkan masyarakat harus diterapkan.

Misalnya, menggunakan kartu subsidi khusus yang bisa digunakan oleh rumah tangga miskin untuk membeli LPG dengan harga bersubsidi, tanpa harus mengorbankan aksesibilitas mereka.

Perlu Evaluasi

Kebijakan larangan penjualan LPG 3 kg di tingkat pengecer sejatinya bertujuan baik, tetapi penerapannya justru bisa menjadi beban baru bagi masyarakat kecil. Dengan akses yang semakin terbatas, biaya logistik yang meningkat, dan potensi kenaikan harga akibat kelangkaan, kebijakan ini harus dievaluasi ulang sebelum benar-benar diterapkan secara luas.

Pemerintah perlu menjelaskan dengan transparan apakah LPG 3 kg masih akan tetap menjadi hak masyarakat miskin atau akan secara perlahan dihapuskan. Ketidakjelasan arah kebijakan hanya akan semakin membingungkan masyarakat dan menimbulkan dampak yang tidak diinginkan.

Jika pemerintah memang berkomitmen untuk menjaga LPG 3 kg sebagai subsidi bagi masyarakat kecil, maka pendekatan yang lebih inklusif dan realistis harus diterapkan. Jangan sampai kebijakan yang dibuat justru menambah kesulitan bagi mereka yang seharusnya mendapat manfaat dari subsidi ini.

Share

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *