Review Peristiwa Politik, Ekonomi, dan Hukum yang Viral Selama Agustus

Share

Jakarta – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara Nomor 60 dan 70/2024 pada Selasa (20/8/2024) bagaikan bom. Dampaknya sampai memorak-porandakan strategi politik yang telah disusun oleh para pemegang kuasa di partai politik maupun penguasa dalam menyongsong Pilkada Serentak 27 November 2024.

Bom itu juga menyulut amarah publik terhadap DPR dan penguasa yang mencoba untuk mengabaikan dua putusan MK tersebut.

Putusan MK Nomor 60/2024 mengubah drastis persyaratan bagi parpol dalam mencalonkan kandidat. Berdasarkan UU Pilkada, syarat pencalonan didukung oleh parpol atau gabungan parpol yang mempunyai kursi parlemen daerah minimal 20 persen atau total perolehan suara 25 persen suara sah dari hasil pemilu terakhir.

Oleh MK, persyaratan itu diubah menjadi berdasarkan persentase dari daftar pemilih tetap (DPT) suatu daerah. Persentasenya adalah, antara 6,5 persen untuk DPT lebih dari 12 juta hingga 10 persen untuk DPT hingga dengan 2 juta. Lalu persyaratan perolehan kursi parlemen daerah juga dihilangkan.

Sedangkan Putusan MK Nomor 70/2024 menetapkan bahwa persyaratan minimal usia calon peserta laga pilkada dihitung berdasarkan saat penetapan sebagai peserta oleh KPU. Putusan MK ini sesuai dengan UU Pilkada sebelum ada putusan dari Mahkamah Agung (MA) yang kontroversial.

Putusan MA atas aturan pelaksana yang dibuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan bahwa batas minimal umur peserta ditetapkan saat dilantik sebagai kepala daerah. Putusan MA ini, memicu kecurigaan kuat sebagai ‘karpet merah’ bagi putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, yang ketua umum PSI, untuk maju dalam pemilihan gubernur.

Jika mengacu pada UU Pilkada, Kaesang yang kelahiran 25 Desember 1994 tidak bisa mencalonkan diri karena pada saat penetapan oleh KPU pada 22 September 2024, umurnya tidak memenuhi syarat minimal 30 tahun.

Namun, dengan putusan MA, dia memenuhi syarat karena pelantikan kepala daerah hasil Pilkada 2024 dilakukan pada tahun 2025.

Publik yang kritis menilai putusan MA itu meniru modus operandi yang sama, yang dilakukan penguasa jelang pendaftaran calon presiden-calon wakil presiden pada tahun lalu, yaitu mengakali hukum supaya anggota keluarganya bisa ikut kontestasi.

Pada kasus tahun lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah aturan batas usia capres-cawapres minimal 40 tahun dengan menambahkan kalimat “atau sudah berpengalaman sebagai kepala daerah yang dipilih melalui pemilu”.

Dengan ketetapan MK ini, Gibran yang belum genap 40 tahun bisa ikut kontestasi Pilpres 2024 karena “sudah berpengalaman sebagai kepala daerah (Solo)”. Putusan MK yang bersifat final dan mengikat ini kemudian terbukti dibuat secara melanggar etik hakim MK, sehingga Ketua MK Anwar Usman yang juga paman Gibran, dicopot dari jabatannya. Modus ini diulang melalui MA untuk meloloskan Kaesang.

Persis satu hari setelah putusan MK, Rabu (21/8/2024) Badan Legislatif (Baleg) DPR membahas revisi UU Pilkada. Rapat digelar secara kilat dengan keputusan yang mengabaikan dua putusan MK tersebut, dan sepakat keputusan itu akan disahkan dalam rapat pleno DPR esok harinya, Kamis, 22 Agustus 2024.

Baca Juga  Rangkuman Berita Utama Selasa, 1 Oktober 2024

Jelas sekali bahwa tujuan buru-buru mengesahkan UU itu untuk mengejar waktu pendaftaran calon kepala daerah yang dijadwalkan KPU berlangsung pada 27-29 Agustus 2024.

Ulah kalangan DPR yang dimotori Koalisi Indonesia Maju (KIM) itu memicu amarah publik yang kritis. Gambar dan video “Peringatan Darurat” berlatar biru, sontak beredar ke jutaan pengguna media sosial.

Aneka seruan dan kecaman: “Kawal Putusan MK”, “Tolak Nepotisme”, membahana di ruang publik dan media sosial. Aksi turun ke jalan pun serempak terjadi pada Kamis, 22 Agustus 2024, di berbagai kota. Antara lain: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Solo, Surabaya, Malang, dan Makassar.

Kamis pagi, 22 Agustus 2024, saat massa pendemo dari kalangan mahasiswa, aktivis, buruh, aktris, dan sebagainya, mengalir menuju Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Wakil Ketua DPR yang Ketua Harian Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan rapat pleno batal digelar karena tidak mencapai kuorum. Dia juga menyebut bahwa DPR akan menaati dua putusan MK tersebut.

Namun kecurigaan publik yang sudah terlanjur akut, tidak memercayai putusan DPR itu sehingga demonstrasi di DPR berlangsung hingga malam. Demikian juga di berbagai kota lainnya. Bahkan aksi protes masih terus berlanjut di kota-kota di Jawa dan luar Jawa pada Jumat, 23 Agustus 2024.

Gerakan protes pada 22 Agustus 2024 tersebut mencengangkan semua pihak, karena begitu cepat terjadi dan sangat masif. Boleh dikata, aksi ini merupakan yang terbesar sepanjang dua periode pemerintahan Jokowi. Apalagi melibatkan lebih banyak kalangan masyarakat, dibandingkan aksi-aksi sebelumnya seperti aksi penolakan UU Cipta Kerja.

rakyat
Sejumlah elemen masyarakat berunjuk rasa di depan Gedung DPR, Kamis (22/8/2024) menolak revisi UU Pilkada. Foto: Tangkapan layar

Gerakan protes masif tersebut dapat terjadi karena antara lain, semakin banyak anggota masyarakat yang sudah muak dengan praktik penyalahgunaan kekuasaan dan hukum, demi kepentingan penguasa dan keluarganya.

Borong partai

Sementara itu, putusan MK Nomor 60/2024 jelas mengacaukan strategi KIM dalam Pilkada Serentak. Sebelum putusan MK tersebut, KIM telah melakukan aksi ‘borong partai’ untuk meraih kemenangan di sejumlah provinsi dan kabupaten/kota.

Maka muncullah istilah KIM Plus, yang berisi parpol KIM ditambah sebagian besar parpol yang pada Pilpres 2024 mengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Sebagai alasan pembenar untuk pembentukan KIM Plus ini adalah supaya kepala daerah yang terpilih bisa inline atau selaras dengan pemerintahan Prabowo-Gibran, yang mulai berkuasa per 20 Oktober 2024.

Namun strategi itu dicurigai sebagai cara untuk menyingkirkan PDIP dari panggung kekuasaan daerah. Apalagi setelah sudah pasti PDIP berada di luar KIM untuk level nasional.

Akan tetapi keputusan MK tersebut membuat strategi KIM buyar. Arena Pilkada yang semula sudah hampir pasti hanya calon dari KIM yang naik panggung, seperti Pilgub Jakarta dan Pilgub Banten, kini PDIP bisa turut berkontestasi.

pram
Rano Karno dan Pramono Anung usai mendaftar di KPU Jakarta. Foto: Taufiq Syarifudin/detikcom

Putusan MK Nomoor 60/2024 sebagaimana dinyatakan oleh hakim MK sebagai “lebih demokratis” ketimbang ketentuan dalam UU Pilkada, memang terbukti telah membuka belenggu parpol-parpol kecil dari pembatasan partisipasi dalam pilkada. Mereka dapat lepas dari pemaksaan penyeragaman komposisi kekuasaan dari pusat hingga daerah yang dilakukan secara oligarkis.

Baca Juga  KPK Batal Panggil Kaesang Klarifikasi Dugaan Gratifikasi Jet Pribadi

Hukum

Dari ranah hukum, putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep dan istrinya, Erina Gudono, menjadi sorotan di akhir Agustus. Ini bermula dari video pasangan tersebut plesir ke Amerika Serikat menggunakan jet pribadi Gulfstream G650 dengan nomor penerbangan N588SE. Belakangan diketahui bahwa jet tersebut milik perusahaan Garena Online Limited yang berpusat di Singapura.

Masyarakat mempertanyakan asal muasal fasilitas mewah tersebut. Bahkan dua laporan melayang ke KPK dikirimkan Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (Maki) dan dosen UNJ Jakarta, Ubedilah Badrun.

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata menyatakan, meski Kaesang bukan penyelenggara negara, tapi patut diduga ada kaitan dengan penyelenggara negara karena orang tua maupun kakaknya yang mantan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka. Ia juga mengatakan, KPK akan mengundang Kaesang untuk mengklarifikasi penggunaan jet pribadi tersebut apakah pemberian atau sewa.

Seandainya sewa, itu harus dibuktikan. Kalaupun pemberian bisnis yang tak terkait penyelenggara negara, Kaesang harus membuktikan dengan laporan pajak yang menyebutkan ada penghasilan berupa fasilitas tersebut.

Kasus jet pribadi Kaesang-Erina menjadi sorotan publik karena membuka fenomena gratifikasi pejabat yang diterima melalui keluarga. Selebgram Jeje Jelita yang merupakan menantu pejabat Kejaksaan Agung tak sengaja membuka rahasia bahwa banyak fasilitas yang diberikan pengusaha kepada pejabat negara dan keluarganya.

Jika kasus semacam ini dimaklumi, bukan tak mungkin akan menjadi modus korupsi suap dan gratifikasi pejabat dengan menyembunyikannya melalui keluarga. Masyarakat berharap, keseriusan KPK dan lembaga penegak hukum lain menangani kasus semacam ini, bisa menjadi pembuka jalan untuk lebih menertibkan penyelenggaraan negara.

Justru karena Kaesang putra Presiden, KPK seharusnya lebih serius dan berani menegakkan hukum. Karena dengan demikian pejabat di level lebih bawah akan lebih hati-hati melanggar hukum.

Ekonomi

Dalam 10 tahun pemerintahan Presiden Jokowi, kelas menengah Indonesia rentan turun kelas. Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan itu tercermin dari modus pengeluaran penduduk kelas menengah yang cenderung lebih dekat ke batas bawah pengelompokan dan semakin mendekati batas bawahnya.

Pada 2014, modus pengeluaran kelas menengah sebesar Rp 1,70 juta. Sementara batas bawah ukuran kelas menengah senilai Rp 1,05 juta dan batas atas hanya sebesar Rp 5,14 juta. Pada 2019, modus pengeluarannya Rp 2,1 juta dengan batas bawah Rp 1,48 juta dan batas atasnya Rp 7,22 juta.

Sedangkan pada 2023, modus pengeluarannya Rp 2,05 juta dengan batas bawah Rp 1,65 juta dan batas atas Rp 8,03 juta. Dan, 2024 modus pengeluaran kelas menengah sebesar Rp 2,05 juta, dengan batas bawah Rp 2,04 juta dan batas atas Rp 9,90 juta. Modus pengeluaran Rp 2,05 juta itu, semakin dekat dengan batas bawah ukuran kelas menengah Rp 2,04 juta, alias rentan turun ke kelas miskin.

Baca Juga  Airlangga Hartarto: RK Sudah OTW

Selain modus pengeluaran, BPS juga mencatat kelas menengah Indonesia terus turun sejak 5 tahun terakhir. Pada 2019, jumlah kelas menengah mencapai 57,33 juta orang atau setara 21,45% dari total penduduk. Pada 2024 hanya tersisa menjadi 47,85 juta orang atau setara 17,13%. Artinya, ada 9,48 juta warga kelas menengah yang turun kelas.

Sementara, data kelompok masyarakat kelas menengah rentan atau aspiring middle class malah naik, dari 2019 hanya sebanyak 128,85 juta atau 48,20% dari total penduduk, menjadi 137,50 juta orang atau 49,22% dari total penduduk. Demikian juga dengan angka kelompok masyarakat rentan miskin yang ikut membengkak dari 2019 sebanyak 54,97 juta orang atau 20,56%, menjadi 67,69 juta orang atau 24,23% dari total penduduk pada 2024.

BPS juga mencatat, ada 6 kelompok pengeluaran kelas menengah yang membengkak pada periode kedua pemerintahan Jokowi (2019-2024). Di antaranya, pengeluaran pajak dan pendidikan. Porsi pengeluaran pajak atau iuran kelas menengah pada 2019 hanya sebesar 3,48%, namun pada 2024 menjadi 4,53%. Untuk pendidikan, dari 3,64% menjadi 3,66%.

Untuk barang atau jasa lainnya, dari 6,04% menjadi 6,48%. Perumahan, dari 27,80% menjadi 28,52%. Keperluan pesta, dari 2,81% menjadi 3,18%. Dan makanan, dari 41,05% menjadi 41,67%. Sementara, kelompok pengeluaran kelas menengah untuk hiburan turun dari 0,47% menjadi 0,38%, kendaraan dari 5,63% menjadi 3,99%, barang tahan lama dari 2,84% menjadi 2,29%, pakaian dari 3,15% jadi 2,44%, dan kesehatan dari 3,08% jadi hanya 2,86%.

Jadi, semakin rendah kategori kelas masyarakat, semakin besar proporsi pengeluaran untuk makanan. Semakin tinggi kelompok kelas masyarakatnya, semakin kecil proporsi untuk pengeluaran makanan.

Presiden Jokowi menanggapi fenomena itu sebagai masalah yang terjadi di hampir semua negara. Penurunan kelas menengah terjadi karena ekonomi global melambat, dipengaruhi salah satunya pandemi covid-19. “Semua negara saat ini berada pada kesulitan yang sama,” katanya, kemarin.

Mungkin benar yang dikatakan Presiden Jokowi itu. Tapi sesungguhnya tak semata itu. Ada kontribusi kebijakan pemerintah yang membuat kelas menengah turun kelas. Yang jelas-jelas tampak adalah, kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11% yang mulai berlaku 2022.

Lalu, melemahnya kinerja manufaktur, yang selain akibat permintaan turun gara-gara Covid-19 juga akibat serbuan impor ilegal di sektor tekstil dan produk tekstil. Hal itu juga tak lepas dari karut marut kebijakan pemerintah, yang juga diwarnai saling lempar tanggung jawab antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan dengan Kementerian Perindustrian.

Fenomena kelas menengah turun kelas ini, harus segera diatasi. Bagaimana pun kelas menengah, seperti ungkapan mantan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, adalah motor penggerak ekonomi.

Tak cukup dengan mengatakan ini fenomena yang dialami semua negara. Begitu juga, tak bisa ‘mengelak’ dengan menganggap ekonomi baik-baik saja, seperti ketika pemerintah membantah deflasi tiga bulan berturut-turut sebagai indikasi menurunnya daya beli.

 

Sumber: BDS Alliance

Share

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *