Jokowi Ganggu Praperadilan Hasto Lewat Lembaga Survei Langganan

Ilustrasi/Tribun

Share

Oleh: Saiful Huda Ems*

Persidangan Praperadilan antara Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto melawan penyidik KPK, yang diselenggarakan di PN Jakarta Selatan semakin hari nampaknya semakin seru. Seperti biasa, pihak termohon (KPK) selalu kedodoran menghadapi argumentasi hukum dari kuasa hukum Hasto.

Mungkin karena melihat kenyataan pahit dan memalukan itu, kubu pengkhianat PDIP yang sangat kesohor di publik, yakni Jokowi dan politbiro oligarkinya mulai menggunakan tangan lembaga survei langganannya, yakni Lembaga Survei Indonesia (LSI).

Saya menduga LSI ini kembali digunakan oleh Jokowi dan politbiro oligarkinya untuk menggiring opini. Tujuannya agar masyarakat dan hakim praperadilan yang saat ini menangani perkara Hasto bersedia mengikuti arahannya, bahwa Hasto haruslah dikalahkan.

Bayangkan saja, masih banyak sekali kasus-kasus besar yang merugikan keuangan negara hingga ratusan triliun. Misalnya abuse of power untuk pagar laut, korupsi tambang, ekspor nikel ilegal, dll… Namun LSI mau-maunya membuat dan merilis survei soal keterlibatan Hasto dalam perkara suap yang nilainya sangat kecil dan sama sekali tidak merugikan keuangan negara.

ikn
Saiful Huda Ems

Ini kalau menurut istilah masyarakat Jawa cetho welo-welo (terang benderang) ada udang di balik batu. Ada dugaan kuat bahwa Jokowi di balik rilis LSI !. Jokowi dan politbiro oligarki sangat sadar, Penyidik KPK dalam persidangan praperadilan sangat terdesak dan memalukan. Pasalnya alat-alat bukti yang dibawanya cacat formil karena 80 peren bukti-bukti yang dibawa KPK tersebut adalah foto kopi dari foto kopi.

Baca Juga  PDI Perjuangan Pecat Jokowi, Gibran, dan Bobby

Semua pemerhati hukum pasti tertawa sebab penyidik KPK membawa foto kopi dari dokumen legalisir yang juga dalam bentuk foto kopi. Ada juga dokumen BAP yang tidak dilampirkan secara utuh, serta ada BAP yang sudah diparaf dan tidak diparaf.

Padahal lazimnya setiap BAP yang projustitia, yang sah di hadapan hukum harusnya yang sudah ditandatangani.

Karena alasan itulah akhirnya sejumlah bukti yang dibawa penyidik KPK tidak bisa diterima pengadilan. Terlebih lagi penyidik KPK sebagai termohon juga membawa bukti kuno, usang, jadul yang sudah disidangkan dan sudah inkrah atau berkekuatan hukum tetap.

Dalam persidangan praperadilan itu, tim kuasa hukum Hasto juga menemukan adanya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) yang ditandatangani pimpinan KPK. Padahal dalam putusan KPK pimpinan bukan lagi sebagai penyidik.

Tak cukup sampai di situ, KPK menurut tim kuasa hukum Hasto juga telah melakukan kebohongan. Yakni tuduhannya terhadap Hasto yang dikatakannya telah menalangi uang suap untuk Harun Masiku.

Itu semua menurut tim hukum, termasuk kebohongan karena bertentangan dengan fakta pengadilan yang sudah inkrah dan bertentangan dengan keterangan saksi.

Baca Juga  Kunjungan Prabowo ke China: Prioritaskan Investasi untuk Rakyat, Bukan Elit Konglo

Menurut Guntur Romli, fakta pengadilan diputuskan terdakwa Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio No 28 Tanggal 15 Agustus 2020 halaman 160-161 sudah terbukti, uang suap dari Harun Masiku tidak ada dari Hasto.

Inilah yang kemudian membuat kuasa hukum Hasto, yakni Ronny Talapessy di persidangan praperadilan tersebut memohon kepada hakim agar hal-hal seperti itu tidak terjadi. Karena hal itu telah merampas hak asasi seseorang (dalam hal ini Hasto). Sebab KPK begitu gampangnya menetapkan status tersangka kepada seseorang, tetapi administrasinya kacau balau.

Mempertimbangkan semua kekacauan administrasi dan cacat formil bukti-bukti yang diajukan oleh penyidik KPK itu, hakim tunggal praperadilan akhirnya meminta kepada kuasa hukum Hasto agar menuangkan semua itu pada kesimpulan.

Makanya Jokowi dan politbiro oligarkinya nampaknya terkejut bukan main, sama sekali tidak membayangkan ternyata KPK terseruduk sekjen parta banteng di Persidangan Praperadilan.

Mungkin karena itu perlu dibuatkan survei lagi, selain kepuasan publik pada Jokowi mencapai 80 persen, kali ini harus dibuatkan survei lagi yang kesimpulan rilisnya berbunyi: 77 persen masyarakat percaya Hasto Kristiyanto terlibat dalam kasus Harun Masiku.

Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan menunjukkan datanya bahwa 38,2 persen responden memilih tahu, sementara 61,8 persen responden memilih tidak tahu. Kemudian dari responden yang memilih tahu, sebanyak 77 persen memilih percaya Hasto terlibat dalam perkara Harun Masiku.

Baca Juga  'Api dalam Sekam' Antara Prabowo-Gibran

Jika kita uraikan rumus LSI itu, responden yang tahu dan percaya Hasto terlibat dalam perkara Harun Masiku adalah 38 persen. Yakni 77% x 38% = sekitar 25%. Ini arti sesungguhnya masih jauh lebih banyak masyarakat yang tidak percaya Hasto terlibat dalam perkara Harun Masiku, yakni 75 persen.

Namun LSI nampaknya sengaja mengarahkan masyarakat untuk memblokir logikanya dan menutup matanya, hingga masyarakat tahunya bahwa responden yang percaya pada keterlibatan Hasto pada kasus Harun Masiku jumlahnya 77 persen. Namun berbagai framing dengan judul berita sesat itu dibiarkan saja oleh LSI.

Dari perspektif seorang peneliti dan penyelenggara survei profesional, sebuah survei opini publik tak selayaknya dipakai untuk menanyakan pendapat warga tentang keterlibatan seseorang dalam kasus hukum.

Alasannya sebab tidak etis dan bisa berekses pada kemandirian keputusan lembaga peradilan. Alasan lainnya, secara rasional tidak fair bagi tokoh yang dinilai —sebab responden sekalipun mengaku tahu, tapi tidak punya pemahaman memadai tentang duduk hukum yang dihadapi yang bersangkutan.

Semoga LSI tergedor nuraninya, bahwa pengkhianatan intelektual itu jauh lebih berbahaya dari segala jenis pengkhianatan.

 

*[Lawyer dan Analis Politik]

 

#praperadilan#praperadilan#

Share

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *