Oleh: Andre Vincent Wenas MM MBA
Dari hasil kajian McKinsey & Company mereka mengestimasi, “the global space economy will be worth USD 1.8 trillion by 2035 (accounting for inflation), up from USD 630 billion in 2023. This figure includes both “backbone” applications —such as those for satellites, launchers, and services like broadcast television or GPS— and what we term “reach” applications —those for which space technology helps companies across industries generate revenues.”
Begini, diperkirakan oleh McKinsey & Company ekonomi luar angkasa global akan bernilai USD 1,8 triliun pada tahun 2035 (dengan memperhitungkan inflasi), naik dari USD 630 miliar pada tahun 2023.
Angka ini mencakup aplikasi “tulang punggung” —seperti satelit, peluncur, dan layanan seperti siaran televisi atau GPS— dan apa yang kami sebut aplikasi “jangkauan” —yaitu yang membantu perusahaan di seluruh industri menghasilkan pendapatan melalui teknologi luar angkasa. Dalam 12 tahun (sejak 2023) bakal naik hampir 3 kali lipat!
Itu skala global, artinya yang memperhitungkan seluruh kegiatan space economy dunia sebagai a comprehensive activity that creates value and benefits for humanity in the process of exploring, researching, understanding, managing, and utilizing space. Begitu per definisi menurut Laporan tahun 2021 dari ‘Space Economy Initiative’ yang dirilis oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Laporan mengenai ‘Space Capital’ yang mengkategorikan jenis investasi berdasarkan teknologi ke dalam tiga kategori, yaitu: infrastruktur, alokasi, dan aplikasi. Dalam 10 tahun terakhir Sebagian besar investasi (sekitar 78%) berfokus pada keterkaitannya dengan aplikasi (related application), seperti misalnya navigasi, positioning and timing. Dengan total investasi sekitar USD 1970 miliar (USD 1,97 triliun).
Setelah itu yang berikutnya adalah investasi di ‘Space Infrastructure’ dengan besaran sekitar 19% yang utamanya untuk peluncuran roket (rocket launches) dan investasi di satelit komunikasi.
Dua negara yang berkontribusi besar di sektor angkasa luar adalah Amerika Serikat dan China. Keduanya memegang 77% investasi global. Amerika Serikat dengan 46% dan China 31%, di posisi ketiga adalah negara tetangga Singapura dengan 5% investasi global.
Besaran potensi ‘Space Economy’ ini tentu menarik untuk kita eksplorasi lebih lanjut. Menimbang posisi geo-strategis Indonesia yang juga strategis, terletak di kisaran garis katulistiwa yang menurut para ahli sangat menguntungkan untuk peluncuran roket. Posisi ini memberikan keuntungan dalam hal efisiensi energi dan biaya peluncuran, karena memanfaatkan gaya Coriolis yang lebih rendah.
Gaya Coriolis adalah gaya semu yang mempengaruhi benda yang bergerak relatif terhadap sistem yang berputar, seperti Bumi. Gaya ini menyebabkan benda yang bergerak di Belahan Bumi Utara dibelokkan ke kanan, sedangkan di Belahan Bumi Selatan dibelokkan ke kiri. Efek ini disebabkan oleh rotasi Bumi dan terlihat pada pergerakan angin, arus laut, dan bahkan proyektil jarak jauh.
Potensi Indonesia
Khusus untuk Indonesia yang memiliki wilayah yang luas dan terdiri dari archipelago (ribuan pulau) yang memungkinkan untuk pengembangan lokasi peluncuran yang ideal. Kabarnya Pulau Biak di Papua bakal dikembangkan untuk keperluan ini. Pulau Lembeh di Sulawesi Utara juga cukup menarik untuk dijajagi. Dan beberapa daerah lain di Indonesia kabarnya sedang dieksplorasi kemungkinannya.
Lagi pula wilayah Indonesia bagian timur memiliki akses langsung ke Samudra Pasifik, kabarnya ini sangat ideal untuk peluncuran roket ke berbagai orbit. Ketersediaan lahan yang banyak di Indonesia telah membuatnya memiliki potensi besar untuk dibangun bandar antariksa (spaceport) yang modern dan canggih, yang akan menjadi pusat kegiatan keantariksaan.
Ini memang area yang baru bagi Indonesia, kita perlu belajar banyak dari berbagai sumber. Kebetulan kami telah menerima proposal investasi yang menaruh minat untuk ikut mengeksplorasi potensi ‘Space Economy’ di Indonesia. Sebuah perusahaan China yang sudah berpengalaman di sektor ini.
Secara bertahap mereka ingin menanamkan investasinya yang besarannya cukup fantastis, USD 10 miliar, dibagi dalam dua tahap. Masing-masing tahap sebesar USD 5 miliar. Dan masuk ke Indonesia dengan langkah-langkah taktis seperti membangun sebuah ‘theme park’ bertema ‘Cosmic Discovery Journey’ sebagai langkah awal. Juga sebagai tahap pengenalan mengenai angkasa luar. Sosialisasi dunia Antariksa.
Disambung dengan inisiatif membangun ‘Aerospace Cultural+Trendy Sports’, ini sebuah ‘immersive camp’ yang memadukan Aerospace Technology dengan Trendy Sports. Kemudian mendirikan Private Space Travel Training Base, untuk mengembangkan sumber daya manusia yang mumpuni.
Baru pada tahap selanjutnya dibangun International Commercial Aerospace Industry Park (untuk Construction and Operation & Maintenance). Disusul konstruksi untuk ‘International Spaceport Construction and Operation & Maintenance’, di sini akan dibangun pusat peluncuran satelit komersial yang modern dengan menyasar pasar Asia, Afrika dan Amerika Latin. Di tahap ini juga sekaligus merintis zona komersial pusat demonstrasi industri angkasa luar.
Kalau disetujui semua pihak (pemerintah dan pihak investor) ini merupakan proyek besar dan berjangka panjang. Perlu komitmen dan daya tahan tinggi untuk merealisasikannya. Saat ini Indonesia punya 18 satelit yang sedang mengorbit di angkasa luar. Keseluruhannya (sampai Mei 2025) diperkirakan ada sekitar 12.149 satelit aktif yang mengorbit Bumi. Jumlah ini terus bertambah, dan sebagian besar berada di orbit rendah Bumi (LEO, low earth orbit).
Tapi ada juga satelit yang sudah tidak berfungsi dan menunggu untuk dideorbitkan atau dipindahkan ke “orbit kuburan”, sehingga jumlah totalnya bisa mencapai sekitar 14.900 satelit.
Jagad raya ini memang masih luas, membuka jutaan kemungkinan ekonomi angkasa luar (termasuk penambangan luar angkasa). Memang sudah saatnya kita menjadikan luar angkasa sebagai ladang pertumbuhan ekonomi kita.
Penjelajahan yang tidak mengenal batas. Seperti slogan Buzz Lightyear tokoh imajiner di film Toy Story yang berseru “To eternity and beyond”.
Jakarta, Sabtu 5 Juli 2025
*Pemerhati ekonomi dan politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Perspektif (LKSP), Jakarta.