Antara Megawati, Jokowi, dan Drama Pembegalan Partai Demokrat

Presiden SBY bersama Ketua Umum PDI P Megawati Soekarnoputeri dan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menyambut kedatangan jenazah Taufiq Kiemas di TMP Kalibata. Minggu (9/6/2013). Foto: Kompas/Robertus Belarminus

Share

Oleh: Saiful Huda Ems*

Tidak banyak orang tahu besarnya jasa Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menyelamatkan Partai Demokrat dari aksi pembegalan di masa Presiden Joko Widodo.

Apa yang saya katakan ini bukanlah asumsi dan analisis, melainkan fakta sejarah yang hanya orang-orang tertentu yang memahaminya. Selain berani menolak ambisi Jokowi yang ingin menjadi presiden tiga periode, Megawati juga berusaha sekuat mungkin untuk mencegah pengambilalihan Partai Demokrat oleh Presiden Jokowi.

Masih ingat dengan peristiwa Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat pada Maret 2021? Saat itu Presiden Jokowi berusaha keras untuk mengambil alih Partai Demokrat melalui tangan Jenderal TNI (Purn) Moeldoko, yang ketika itu menjadi Kepala Staf Kantor Presiden (KSP).

Moeldoko adalah sosok yang taat kepada pimpinan, sehingga tidak bisa menolak keinginan Presiden Jokowi. Jika Moeldoko menolak, berarti ia akan dipecat, lalu misinya untuk meredam perpecahan rakyat pada masa itu (kaum nasionalis versus agamis) yang dibentur-benturkan Jokowi, akan terhenti.

Baca Juga  Indonesia Darurat Ibu Kota Negara

Di sinilah mengapa kemudian Moeldoko mau menjalankan instruksi Presiden Jokowi dengan berat hati.

Coba ingat betapa seringnya Moeldoko ketika itu menolak wawancara dari ratusan wartawan yang menunggunya soal pertarungan Partai Demokrat. Beliau seringkali menjawab singkat: “Aku ora ngerti” (saya tidak mengerti), atau “ora weruh” (tidak tahu).

Itulah jurus Moeldoko agar tidak terlibat terlalu jauh soal pengambilalihan Partai Demokrat ketika itu.

Lalu bagaimana dengan peran Megawati?

Dengan cerdasnya Megawati meminta kadernya yang kala itu menjadi Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly untuk tidak menerima susunan kepengurusan baru Partai Demokrat hasil KLB Deli Serdang.

Maka di akhir bulan Maret 2021, keputusan Menkumham saat itu benar-benar menolak kepengurusan Partai Demokrat pimpinan Moeldoko yang diajukan ke Kemenkumham.

Kami semua yang duduk dalam kepengurusan Partai Demokrat pimpinan Moeldoko menjadi heran. Kok bisa-bisanya Menkumham menolak pengajuan kami, padahal apa susahnya Menkumham untuk menerimanya?

Bukankah Yasonna selalu bertemu Moeldoko saat rapat kabinet?

Baca Juga  Pesan Terakhir Mendiang Romo Benny Susetyo

Bukankah harusnya Yasonna tunduk pada instruksi Presiden Jokowi?

Jawaban atas pertanyaan ini ternyata, Yasonna lebih mau mendengar seruan Megawati yang taat konstitusi, dari pada mendengar instruksi Presiden Jokowi. Maka jangan heran, Jokowi menaruh dendam pada Yasonna dan akhirnya mereshufle dari jabatannya sebagai Menkumham menjelang akhir masa jabatannya.

Moeldoko ketika itu tidak pernah mau sekali pun melobi Yasonna yang sering bertemu dengannya di istana. Jika pun keduanya bertemu, beliau akan bicara untuk hal-hal lain di luar konteks Partai Demokrat. Dari sini saja sudah bisa kita lihat, betapa aslinya Moeldoko itu sangat bijaksana dan tidak tertarik untuk mengambil alih Partai Demokrat dari kepemimpinan AHY dan SBY.

Kalau kemudian Jokowi nampak sekali sangat membenci Megawati Soekarnoputri yang telah mempersilakannya menjadi Wali Kota Solo, Gubernur Jakarta, dan Presiden RI selama dua periode. Entah apa alasannya. Mungkinakibat seringnya keinginan Jokowi ditolak Megawati.

Buzzer-buzzer Jokowi tiada pernah henti-hentinya membuli Megawati di medsos, bahkan malah makin melonjak dengan menebarkan spanduk-spanduk yang menghina Megawati dan PDIP, di jalan-jalan Jakarta.

Baca Juga  Kemerosotan Mutu Politisi dan Penyelenggara Negara sebagai Produk Pendidikan

Untungnya kader-kader sangat sigap dan dalam tempo singkat semua spanduk-spanduk sarat fitnah itu turunkan.

Megawati bukanlah tandingan Jokowi, sebab ia terlahir dengan jiwa pemimpin revolusioner.

Sebaliknya, saling menghina antarkelompok rakyat menjadi kegaduhan horizontal tiada habis-habisnya, dari tahun ke tahun, semenjak Jokowi berkuasa.

Siapa yang masih sangsi, bahwa yang memimpin Reformasi ’98 itu bukan Megawati Soekarnoputri? Siapa yang masih sangsi kalau Megawati itu merupakan salah satu tokoh penting dalam gerakan reformasi 1998 yang membawa perubahan besar bagi Indonesia?

Hanya buzzer-buzzer Jokowi yang suka berteriak lantang mengikuti pesanan sang operator.

Sekali lagi, jasa Megawati Soekarnoputri bagi bangsa ini sangat besar, khususnya kepada Partai Demokrat pimpinan AHY dan SBY.

Itulah fakta betapa setianya Megawati terhadap demokrasi dan konstitusi.

 

*Mantan Ketua Departemen Komunikasi dan Informatika DPP Partai Demokrat Hasil KLB pimpinan Moeldoko

Share

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *