Oleh: Saiful Huda Ems*
Selasa (21/1/2025) merupakan jadwal sidang perdana praperadilan yang diajukan tim kuasa hukum Hasto Kristiyanto melawan KPK. Namun sayang sekali proses praperadilan yang diselenggarakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu tidak dihadiri pihak KPK.
Kita bisa membayangkan seandainya persidangan dilakukan oleh pihak KPK, lalu Hasto Kristiyanto yang tidak hadir. Pastilah akan banyak serangan dari para buzzer yang menyudutkan Hasto.
Bisa jadi dia dituduh takut, banyak alasan, atau tudingan lainnya.
Namun sebaliknya ketika pihak KPK yang tidak hadir, para buzzer pun diam saja.
Padahal sidang praperadilan ini merupakan upaya perlawanan hukum dari pihak Hasto kepada penyidik KPK yang dianggap sewenang-wenang dan gegabah menetapkan Hasto sebagai tersangka kasus suap kepada anggota KPU yang dilakukan oleh Harun Masiku di tahun 2019.
Praperadilan yang diupayakan Hasto itu juga merupakan bagian penting dari sejarah perjuangan mempertahankan demokrasi melalui jalur hukum. Hal ini sebagaimana disampaikan koordinator tim hukum Hasto, yakni Ronny Telapessy, di Jakarta, Selasa (21/1/2025).
Tim hukum Hasto dalam sidang praperadilan itu telah mengungkap sejumlah penemuannya terhadap dugaan cacat prosedural, termasuk di antaranya kesewenang-wenangan KPK dalam menerbitkan sprindik dan SPDP terhadap Hasto.
Ada banyak kejanggalan dari aspek waktu, prosedur, maupun substansi yang dilakukan oleh penyidik KPK terhadap penetapan Hasto sebagai tersangka. Karena itulah Hasto melalui tim hukumnya mengajukan praperadilan untuk menguji semuanya.
Namun sayang pihak KPK sendiri malah mangkir dari persidangan dengan alasan masih membutuhkan waktu untuk menyiapkan materi terkait gugatan praperadilan.
Bukankah KPK jauh-jauh hari sudah sesumbar mengatakan akan siap menghadapi gugatan praperadilan Hasto?
Kenapa begitu dipanggil untuk sidang praperadilan di PN Jaksel KPK, malah mangkir?
Ingat ya, mengulur-ulur waktu untuk datang di persidangan merupakan bentuk pelanggaran dari azas persidangan: yakni adanya kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, proporsionalitas, dan penghormatan terhadap HAM.
Demikian pula dengan menunda-nunda untuk hadir di persidangan, dengan atau tanpa sadar itu sesungguhnya merupakan bentuk kecil dari pelanggaran HAM. Karena KPK telah mengambil hak tersangka untuk mendapatkan kepastian hukum.
Absennya KPK di persidangan akhirnya membuat hakim tunggal PN Jaksel, Djuyamto memutuskan untuk menunda sidang dan melakukan penjadwalan ulang pada Februari 2025. Agendanya memanggil kembali termohon (KPK).
Dari berbagai informasi yang saya terima, pihak penyidik KPK sebetulnya masih sangat kesulitan untuk mencari bukti-bukti terbaru (novum) prihal keterlibatan Hasto dalam kasus terkait Harun Masiku yang sudah lama mendapatkan keputusan tetap (inkracht) dari pengadilan Tipikor.
Namun, ‘KPK edisi Mulyono ini’ seolah masih terus berusaha mencari-cari bukti untuk memperkuat penetapan status tersangkanya Hasto. Beberapa orang yang terlibat dalam kasus ini didekati mulai dengan intimidasi hingga lobi-lobi dengan berbagai imbalan.
Sasarannya, agar mereka mau bersaksi untuk memberatkan Hasto. Benar tidaknya info ini, wallahu a’lam.
Selain itu, saya juga baru saja mendapatkan informasi tentang salah seorang saksi bernama Agustiani Tio Fredelina. Bekas anggota Bawaslu ini sudah divonis penjara dan telah bebas. Sebelumnya ia didakwa menerima suap dari Harun Masiku.
Kini dia sedang dicekal ke luar negeri oleh KPK, padahal kondisinya sedang sakit keras dan memerlukan perawatan di RS luar negeri.
Tio dalam kesaksiannya terdahulu di Pengadilan Tipikor pada 2020, sama sekali tidak pernah menyatakan Hasto terlibat dalam perkara suap Harun Masiku.
Ini benar-benar perlakuan dari KPK yang membahayakan nyawa seseorang. Ini juga bentuk kekejaman KPK yang bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM, yang kesekian kalinya dilakukan KPK terkait perkara Harun Masiku.
*Lawyer, Analis Politik, Aktivis ’98