Jakarta – Rencana pemerintah untuk menghapus subsidi BBM bagi pengemudi ojek online (ojol) menimbulkan banyak kontroversi. Langkah ini dinilai tidak adil mengingat peran strategis ojol dalam mendukung perekonomian masyarakat perkotaan.
Pernyataan tersebut disampaikan Ekonom Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat melalui keterangannya yang diterima di Jakarta, Jumat (29/11).
Ia menjelaskan, kebijakan penghapusan subsidi BBM bagi pengemudi ojol seolah mengabaikan fakta bahwa mereka bukanlah kelompok ekonomi mampu, melainkan sebagian besar berasal dari kelas bawah yang mengandalkan pendapatan harian.
“Ojol telah menjadi solusi transportasi yang efisien, fleksibel, dan terjangkau bagi jutaan masyarakat, terutama di kota-kota besar. Mereka tidak hanya mengangkut penumpang tetapi juga menjalankan fungsi penting dalam logistik, termasuk pengiriman makanan dan barang,” terang dia.
Lebih detail, Achmad menguraikan, Subsidi BBM bagi pengemudi ojol sebenarnya bukan hanya untuk mereka, tetapi juga untuk masyarakat luas yang menggunakan layanan ini.
Sebeb tanpa subsidi, lanjutnya, biaya operasional pengemudi ojol akan meningkat drastis, yang hampir pasti akan diteruskan ke konsumen dalam bentuk kenaikan tarif.
“Ini berisiko mengurangi aksesibilitas transportasi murah bagi kelas menengah dan bawah, meningkatkan biaya hidup, dan pada akhirnya menekan daya beli masyarakat yang sudah terhimpit oleh inflasi,” tutur pakar kebijakan publik ini.
Ancaman ekonomi
Ia mengingatkan, penghapusan subsidi BBM untuk ojol juga berpotensi menciptakan efek domino yang merugikan perekonomian. Selain meningkatkan biaya transportasi, kenaikan harga layanan ojol dapat berdampak pada harga barang dan jasa lainnya.
Misalnya, kenaikan biaya logistik dari ojol yang mengantarkan barang atau makanan akan diteruskan pada konsumen akhir, menciptakan tekanan inflasi tambahan.
“Lebih jauh, kebijakan ini berisiko mendorong pengemudi ojol keluar dari pasar karena tidak mampu menanggung beban biaya operasional yang tinggi. Ini dapat memicu peningkatan pengangguran di sektor informal, yang selama ini menjadi salah satu penyerap tenaga kerja terbesar di perkotaan,” ucap dia.
Sebagai solusi, Achmad mengatakan pemerintah seharusnya tidak serta-merta menghapus subsidi BBM untuk ojol, tetapi justru memastikan subsidi ini lebih tepat sasaran.
Misalnya subsidi berbasis NIK untuk kendaraan yang digunakan dalam kegiatan produktif, seperti ojol, dapat menjadi solusi.
Pendekatan ini memungkinkan pengemudi ojol tetap mendapatkan subsidi tanpa membuka ruang penyalahgunaan.
Selain itu, pengawasan yang lebih ketat terhadap distribusi subsidi dapat dilakukan untuk mencegah penggunaannya oleh kelompok yang tidak berhak, seperti pemilik kendaraan mewah atau kendaraan yang dibiayai oleh perusahaan.
Kepada pemerintah, Achmad menyampaikan beberapa catatan penting bahwa penghapusan subsidi BBM untuk pengemudi ojol tidak hanya merugikan mereka secara langsung tetapi juga masyarakat yang lebih luas.
Ojol adalah tulang punggung transportasi dan logistik perkotaan, yang kehadirannya sangat penting bagi keseimbangan ekonomi rakyat.
Pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan ini dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi nasional.
Subsidi BBM untuk ojol bukanlah penghamburan dana, melainkan investasi untuk menjaga mobilitas dan kesejahteraan masyarakat.
red