Resiprokal Tarif Picu Perang Dagang 2.0: RI Jangan Panik, tapi Wajib Waspada dan Bergerak

Share

Oleh: Steve D Anggara CFA 
Layanan Risiko Makro Ekonomi, DIV MRS PLN

Déjà vu sejarah kembali hadir di panggung ekonomi global. Pada 1930, Amerika Serikat memberlakukan Smoot-Hawley Tariff Act yang menaikkan tarif terhadap lebih dari 20.000 produk impor. Dunia pun membalas. Ekspor AS anjlok 61%, PDB menyusut hampir separuh, dan pengangguran melonjak ke 25%.

Proteksionisme ekstrem ini tak hanya memperdalam Great Depression, tapi juga memperburuk ketegangan internasional —yang akhirnya ikut memantik Perang Dunia II.

Hampir satu abad kemudian, dunia kembali menghadapi gema dari kebijakan serupa. Kita telah menyaksikan babak pertama trade war 1.0 yang berlangsung antara 2018 hingga 2020, dipicu oleh Presiden Donald Trump.

Dengan semangat “America First”, Trump memberlakukan tarif besar-besaran terhadap produk China senilai lebih dari USD 360 miliar, yang dibalas oleh China dengan tarif senilai USD 110 miliar yang dampaknya masih terasa hingga sekarang pertumbuhan ekonomi China melambat.

Trade War 2.0: Babak Baru Ketegangan Global

Pada 2 April 2025, Presiden Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif resiprokal secara sepihak, yang ia sebut sebagai Declaration of Economic Independence atau Liberation Day. Kebijakan ini bertujuan untuk menyamakan perlakuan dagang terhadap negara-negara yang dianggap melakukan praktik perdagangan tidak adil terhadap produk Amerika Serikat. Rinciannya:

  • Tarif dasar 10% untuk hampir seluruh impor
  • Tarif reciprocal 20% terhadap Uni Eropa
  • Tarif reciprocal 24% terhadap Jepang
  • Dan tambahan tarif 34% (contohnya total tarif atas produk Cina menjadi 54%)
Baca Juga  ‘Brief Update’, Senin, 20 Januari 2025

Indonesia turut masuk dalam daftar dari total 56 negara dengan tarif tambahan sebesar 32% di luar tarif dasar 10% yang ada. Ini efektif mulai 9 April 2025. Meskipun penerapan masih perlu ditelaah, terutama efektivitas penerapan dan peluang negara yang dikenai tarif tersebut melakukan perjanjian bilateral dengan US.

Sepertinya Trump memahami strategi China+1 yang dilakukan selama trade war 1.0  sehingga melakukan perluasan tarif kepada banyak negara.

Trump mengklaim kebijakan ini bertujuan memperkuat manufaktur domestik AS. Namun, para ekonom menilai bahwa tarif ini justru berisiko menaikkan inflasi barang konsumsi di AS dan merugikan konsumen. Selain itu juga memperburuk rantai pasok global, dan menciptakan ketidakpastian pertumbuhan dunia.

Seperti sejarah telah membuktikan, penderitaan akibat proteksionisme semacam ini tak akan berhenti di satu negara saja —dampaknya akan menjalar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Indonesia: Awalnya Bukan Target, Kini Terlibat

Indonesia bukan pihak yang terlibat langsung seperti China, Kanada, atau Meksiko. Namun kini resmi masuk dalam daftar negara yang akan dikenai tarif tambahan. Dari penonton, kini turut berada di tengah arena.

Menurut UN COMTRADE, ekspor Indonesia ke AS pada 2024 mencapai USD 29 miliar, atau urutan ke-15. Ini jauh dibanding Cina. Ekspor Indonesia didominasi produk padat karya seperti tekstil, alas kaki, otomotif, dan karet —semua sangat sensitif terhadap tarif.

Baca Juga  Mengaktifkan Otak Kanan dalam Kegiatan Kepanduan Pramuka

Jika tarif 32% diterapkan, harga jual akan meningkat, daya saing menurun, dan permintaan berpotensi jatuh.

Dampak langsung ke neraca perdagangan Indonesia memang masih tergolong moderat. Tapi, risiko terbesar datang dari arah lain, yakni Cina.

Spillover dari China: Efek Tak Langsung, tapi Nyata

Sebagai mitra dagang terbesar Indonesia, perlambatan ekonomi China akan menular ke Indonesia. Jika industri dan ekspor China terpukul, permintaan terhadap komoditas Indonesia seperti batu bara, CPO, dan nikel berisiko ikut turun. China juga merupakan salah satu investor asing terbesar di Indonesia, dengan realisasi investasi (FDI) mencapai USD 8,1 miliar atau sekitar 13,4% dari total FDI pada 2023.

Berdasarkan berbagai analisis, setiap penurunan 1% PDB China diperkirakan dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia antara 0,1% hingga 0,39%, tergantung pada seberapa dalam koneksi sektor-sektor terkait.

Rupiah Melemah: Pelampiasan Pasar atas Ketidakpastian

Ketegangan dagang memicu gejolak pasar keuangan. Rupiah melemah ke Rp16.560 per USD pada awal April 2025. Menurut Bank Indonesia, utang luar negeri sektor swasta Indonesia mencapai U SD 194,4 miliar per Januari 2025, sebagian besar dalam denominasi dolar AS.

Pelemahan rupiah meningkatkan beban pembayaran utang dalam valas, khususnya bagi korporasi yang pendapatannya berbasis rupiah. Hal ini dapat menekan arus kas, margin keuntungan, dan solvabilitas neraca keuangan.

Baca Juga  Taiwan Vonis Penjara 8 Orang Diduga Mata-Mata China

Bahkan, IHSG sempat mengalami trading halt, menunjukkan bahwa reaksi pasar terhadap ketidakpastian bersifat instan dan tajam. Memang aliran modal ke luar di instrumen saham lebih mudah dibanding dengan investasi riil.

Ekonomi Indonesia: Tak Perlu Panik, tapi Harus Siap

Berbeda dengan krisis 1998, fundamental ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih kokoh. Beberapa indikator utama menunjukkan:

  • Rasio utang terhadap PDB hanya 39,3% pada 2023 —jauh di bawah ambang batas aman internasional sebesar 60%
  • Cadangan devisa mencapai USD 155,7 miliar per Desember 2024, setara hampir 9% dari PDB —cukup untuk membiayai lebih dari 6 bulan impor
  • Konsumsi domestik tetap kuat, menyumbang 53,71% dari PDB dan tumbuh 4,98% YoY pada kuartal IV 2024 —menjadi penopang utama pertumbuhan nasional.

Dengan kekuatan ini, Indonesia masih memiliki bantalan fiskal dan moneter yang cukup untuk menyerap guncangan eksternal, asalkan disiapkan dengan strategi yang tepat.

Saat ini Indonesia perlu mempersiapkan diri dengan mulai melakukan diversifikasi pasar ekspor, termasuk menjajaki kemitraan baru melalui BRICS+ dan negara-negara pasar alternatif. Juga perlu menangkap peluang investasi global dengan dukungan reformasi birokrasi investasi dan insentif fiskal yang kompetitif.

Kita tak perlu panik, tapi wajib waspada dan bergerak.

Share

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *