Oleh: Saiful Huda Ems*
BEGITU saya mendengar pernyataan Wakil Ketua DPR RI sekaligus Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad yang menyatakan DPR tidak jadi mengesahkan revisi UU Pilkada dengan alasan tidak memenuhi kuorum, pikiran saya langsung menyatakan Prabowo-Jokowi mulai pecah kongsi.
Ini bukan berarti saya mau menihilkan peran dari hasil gelombang pergerakan demonstrasi mahasiswa yang telah menyatu dengan berbagai elemen rakyat, akan tetapi justru saya ingin menegaskan bahwa berkat keberhasilan aksi demonstrasi Kamis, 22 Agustus 2024 telah membuat Prabowo berpikir ulang dan sangat serius untuk mengevaluasi dukungannya pada Jokowi.
Betapa tidak, Prabowo pastinya memiliki trauma panjang akan peristiwa gelombang unjuk rasa di tahun 1998. Ini membuat Prabowo harus lari ke Yordania selama bertahun-tahun. Kini tiba-tiba seolah melihat hal yang hampir sama dengan kejadian di tahun 1998, yakni gelombang demonstrasi dahsyat mulai dari Jakarta hingga di daerah-daerah seluruh Indonesia.
Jika keadaan yang seperti ini tidak segera dihentikan oleh Prabowo, maka sangat mungkin Prabowo akan kena getahnya. Artinya, rakyat yang awalnya hanya marah pada Jokowi dan DPR minus fraksi PDIP, akan melanjutkan amarahnya ke Prabowo yang dianggap sebagai inisiator KIM Plus. Koalisi Inilah yang mati-matian ingin menjegal keputusan MK. Dan tindakan itu sangat dibenci mayoritas rakyat.
Alhasil dengan perhitungan kalkulasi politiknya yang cermat, Prabowo lalu diam-diam memerintahkan Fraksi Partai Gerindra yang menjadi komandan KIM Plus untuk segera membatalkan penjegalan Keputusan MK No 60 dan 70.
Dan ternyata bukan hanya saya yang memiliki analisa politik demikian. Politisi PDIP Arteria Dahlan dan Akademisi UGM Zainal Arifin Mochtar (Uceng) maupun Rocky Gerung membuat prediksi yang serupa.
Namun bagi saya, bukan hanya peristiwa hiruk pikuk penjegalan keputusan MK oleh DPR yang menjadi pertanda mulai pecahnya kongsi politik antara Prabowo dan Jokowi. Ini dimulai ketika Gerindra mencalonkan Kaesang menjadi Wakil Gubernur Jakarta mendampingi Cagub Ridwan Kamil.
Tetapi tiba-tiba diganti Gerindra atau KIM Plus dengan Cawagub Suswono. Ini benar-benar seperti ada kesengajaan dari Prabowo untuk “mengerjai” Jokowi dan keluarganya.
Loh, kok bisa seperti itu?
Sebab sangat mustahil bagi Prabowo atau Gerindra yang memiliki banyak politisi profesional, kok mau-maunya menyodorkan Kaesang yang maaf masih bau kencur untuk disodorkan pada warga Jakarta sebagai cawagub.
Tentu hal itu pasti akan mempermalukan Prabowo dan Partai Gerindra itu sendiri. Wong menyalonkan Gibran sebagai cawapres saja sudah mendatangkan gelombang aksi demonstrasi besar, kok sekarang malah mau menyalonkan adiknya.
Mendorong Kaesang sebagai cawagub, bagi saya hanyalah umpan Prabowo agar rakyat semakin marah kepada Jokowi. Jika bukan itu, mungkin sekadar lucu-lucuan saja.
Tapi celakanya, ide itu diterima secara serius oleh Kaesang dan Jokowi hingga ribuan baliho Kaesang untuk Jakarta 2024-2029 bertebaran di Ibu Kota.
Nampaknya dari sisi ini Prabowo sudah mulai cerdas dalam berpolitik. Mungkin karena sudah banyak belajar dari cara Jokowi berpolitik. Prabowo mulai menerapkan ilmu barunya sehingga “perang” politiknya dengan Jokowi tak terbaca dengan baik oleh Jokowi itu sendiri.
Pun demikian dengan pendiri Nasdem, Surya Paloh. Ia awalnya menyatakan ingin mengusung Kaesang menjadi cagub Jawa Tengah. Tiba-tiba diubah dengan mengusung cagub Ahmad Luthfi.
Percayalah, ini bukan hanya semata karena adanya keputusan MK yang mengharuskan usia cagub minimum 30 tahun. Melainkan juga karena Surya Paloh ingin “memprovokasi” rakyat agar semakin marah pada Rezim nepotis Jokowi.
Hanya saja karena Surya Paloh saat ini masih menjadi sandra politik Jokowi atas dugaan kasus korupsi BTS, dll, ia melakukan perlawanan secara halus dan diam-diam, sebagaimana yang Prabowo lakukan pada Jokowi.
Baik Surya Paloh maupun Prabowo merupakan politisi yang dilahirkan dari rahim Golkar. Mereka tentu sangat marah melihat Golkar direbut Jokowi dengan menempatkan Bahlil Lahadia sebagai ketum sekaligus operator politiknya.
Bahlil ditempatkan di Golkar tiada lain dimaksudkan hanya untuk melindungi Jokowi di masa depan. Ini dengan menjadikan Golkar sebagai kendaraan politik Jokowi untuk menghadapi Prabowo dan Megawati Soekarnoputri bersama partai-partai pendukungnya di masa depan.
Tanpa strategi itu, Jokowi hanya akan jadi gelandangan di pentas politik Indonesia di masa depan. Percayalah dan sapere aude!
*Lawyer dan pemerhati politik