Oleh: Saiful Huda Ems
Memperhatikan kesaksian Prof Connie Rahakundini Bakrie dan Dr Hasto Kristiyanto di podcast-nya Akbar Faizal, Jumat (22/11/2024), air mata saya hampir terjatuh bersamaan dengan aliran darah di tubuh yang terasa mendidih.
Ada semacam kesedihan dan kegeraman yang menyatu dalam diri ketika mendengar penuturan beliau berdoa melalui kanal YouTube: tentang buruknya wajah penegakan hukum di negeri ini.
Bagaimana tidak, setelah sebelumnya kita dikejutkan oleh pemberitaan ditersangkakannya Thomas Lembong yang selama ini kritis terhadap Pemerintahan Jokowi, sekarang tiba-tiba ada orang kritis lainnya yang mau dipersangkakan, yakni Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Jika Thomas Lembong selama ini kritis pada berbagai kebijakan Pemerintahan Jokowi, maka Hasto Kristiyanto jauh lebih dari itu. Dia dikenal lebih tajam lagi pernyataan-pernyataannya soal pergerakan Jokowi memolitisasi Polri, KPK, MK, dll untuk tujuan kekuasaannya.
Akibatnya banyak penanganan hukum serta tindakan-tindakan instrumen negara –khususnya Polri–yang terkesan berat sebelah dan hanya mau mendengar penguasa dan bukan lagi suara batin rakyat sebagai representasi kebenaran.
Bila kita pelajari dan telusuri secara serius, betapa selama ini Jokowi banyak memperalat kepolisian untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya. Mulai dari membentur-benturkan kekuatan nasionalisme dan Islam, hingga mengkriminalisasi orang-orang yang kritis pada Jokowi.
Padahal nasionalisme dan Islam adalah satu kesatuan yang tidak dapat lagi dipisah-pisahkan. Membenturkan nasionalisme dan Islam sama halnya dengan kehendak untuk menutup cahaya Islam yang rahmatan lil alamin, yang selalu menjiwai pergerakan-pergerakan para pejuang untuk mencapai kemerdekaan.
Mengkriminalisasi orang-orang kritis merupakan tindak kejahatan luar biasa karena itu seperti ingin mengosongkan Republik Indonesia dari orang-orang kritis dan peduli pada bangsa.
Kalau ini diteruskan, maka Indonesia sebagaimana diucapkan Prabowo ketika belum menjadi presiden, akan bubar, bubar, dan bubar.
Olehnya, tidak ada hal lain yang harus dilakukan saat ini, bahwa Polri yang berjiwa Merah Putih harus bangkit dan bergerak menyelamatkan institusinya demi Indonesia.
Polri yang selama ini marwah institusinya telah dirusak oleh politisi-politisi haus kekuasaan seperti Jokowi, harus kembali ke jati dirinya dan tidak boleh lagi diperalat sebagai budak budak politik para politisi tamak, serakah, ambisius.
Demokrasi di RI yang kita cintai harus dibiarkan berjalan pada relnya secara wajar. Dengan demikian akan terbentuk negara demokrasi yang ideal sesuai dengan suara Tuhan yang terdengar dari suara rakyat, bukan terbentuk dari suara penguasa yang zhalim atau lalim.
Zhalim adalah lawan kata dari keadilan. Zhalim bermakna melakukan perbuatan yang menganiaya diri sendiri atau merugikan orang lain, atau jika disederhanakan adalah melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan tempatnya.
Sedangkan leadilan bermakna perbuatan yang sesuai dengan tempatnya. Karena itu semua penegak hukum, khususnya Polri dan KPK harus adil dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Tidak bekerja atas dasar pesanan orang-orang tertentu yang selama ini menguasai institusi-institusi negara seperti Jokowi dahulu ketika masih menjadi Presiden dan sekarang meski sudah tidak lagi menjadi presiden, namun masih bisa melakukan cawe-cawe penegakan hukum melalui putranya yang menjadi Wakil Presiden serta dengan orang-orang kepercayaannya yang memikiki posisi strategis di institusi negara.
Hukum harus diproduksi dari suara kebenaran Tuhan, bukan suara kegeraman penguasa. Polri harus taat konstitusi dan bukannya taat pada Jokowi. Kesadaran berbangsa dan bernegara yang benar sesuai konstitusi harus benar-benar dipegang kuat hingga menjiwai seluruh personel Polri yang menjaga Merah Putih.
Mau dicintai rakyat apa mau dicintai Jokowi?
Jika ingin dicintai rakyat, maka jangan ragu-ragu Polri dan instrumen-instrumen negara lainnya harus berpegang teguh dan setia pada Merah Putih.
Merdeka!
*Lawyer, Analis Politik, Jurnalis, dan Aktivis ’98.