Jakarta – Pemerintah diperkirakan akan menarik utang baru sebesar Rp 775,9 triliun pada 2025 akibat ketidakseimbangan yang semakin lebar antara penerimaan dan belanja negara.
Analis senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution, Ronny P Sasmita menyebut lonjakan utang ini disebabkan ketidakseimbangan yang semakin lebar antara penerimaan dan belanja negara.
Menurut dia, ketidakseimbangan ini terjadi karena pemerintah kurang berhasil menaikkan proyeksi tingkat penerimaan negara, namun juga tidak bersedia mengurangi rencana belanja. Sehingga, mau tidak mau utang harus dinaikkan.
Berdasarkan Buku II Nota Keuangan RAPBN 2025, pemerintah merencanakan penarikan pinjaman kira-kira senilai Rp 133,3 triliun dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 642,6 triliun untuk membiayai sejumlah program APBN.
Pinjaman tersebut terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 5,2 triliun, dan pinjaman luar negeri Rp 128,1 triliun.
Meski kemampuan pemerintah untuk membayar utang saat ini masih tergolong aman, menurut Ronny peningkatan utang Rp 775,9 triliun itu dapat mengurangi ruang fiskal untuk belanja produktif.
Nilai tukar
Menkeu Sri Mulyani menjelaskan alasan pemerintah mematok asumsi nilai tukar rupiah di RAPBN 2025 di level Rp 16.100 per dolar AS karena kondisi global dan domestik terjadi ketidakpastian, terutama dalam 6 bulan terakhir.
Penjelasan Menkeu itu merespons pertanyaan sejumlah fraksi di DPR mengenai alasan pemerintah mematok nilai tukar rupiah Rp 16.100 per dolar AS dan suku bunga surat berharga 10 tahun sebesar 7,1 persen.
DBS Alliance