Oleh: Achmad Nur Hidayat*
Insiden yang melibatkan mobil berplat RI 36 dan pengawalan patwal arogan di jalan raya kembali memicu diskusi panas mengenai privilege pejabat publik di Indonesia.
Raffi Ahmad, meski tidak berada di dalam mobil saat insiden terjadi, tidak bisa lepas tangan atas peristiwa tersebut.
Sebagai pejabat publik, ia memiliki tanggung jawab penuh atas tindakan tim transportasi dan patwal yang bekerja di bawah penugasan dirinya.
Sayangnya, respons Raffi Ahmad yang cenderung lambat dan baru muncul setelah teguran dari Menteri Sekretaris Kabinet, Mayor Teddy menunjukkan bahwa ia belum sepenuhnya memahami esensi tanggung jawab sebagai pejabat publik.
Tanggung Jawab Tidak Bisa Dielakkan
Argumen bahwa Raffi Ahmad tidak berada di dalam mobil saat insiden terjadi tidak dapat membebaskannya dari tanggung jawab.
Tim patwal dan transportasi yang ditugaskan mengawal kendaraannya jelas bekerja atas nama dan untuk kepentingan Raffi Ahmad.
Sebagai pejabat negara, ia memiliki kewajiban moral dan administratif untuk memastikan setiap elemen di bawah kendalinya bertindak sesuai aturan dan norma yang berlaku. Ketika patwalnya bersikap arogan dan menciptakan keresahan di jalan raya, itu adalah refleksi dari kegagalan pengawasan dan arahan dari pihaknya.
Seorang pejabat publik tidak hanya diukur dari tindakan langsungnya, tetapi juga dari bagaimana mereka mengelola tim yang bertugas atas nama mereka.
Jika Raffi Ahmad tidak mampu memastikan patwalnya bertindak profesional dan mematuhi aturan lalu lintas, maka ia harus bertanggung jawab atas kegagalan itu. Apalagi, insiden ini terjadi di ruang publik, melibatkan hak orang lain, dan dengan cepat menjadi sorotan media.
Respons yang Lambat dan Tidak Bertanggung Jawab
Salah satu aspek paling mencolok dari polemik ini adalah lambatnya respons Raffi Ahmad. Setelah insiden tersebut viral di media sosial, ia memilih diam selama tiga hari, hingga akhirnya teguran dari Menseskab memaksanya untuk angkat bicara.
Tiga hari adalah waktu yang terlalu panjang untuk seorang pejabat publik yang seharusnya tanggap terhadap permasalahan yang melibatkan dirinya atau timnya.
Diamnya Raffi Ahmad dalam kurun waktu tersebut menunjukkan kurangnya kesadaran akan pentingnya transparansi dan tanggung jawab dalam menghadapi krisis.
Sebagai pejabat publik sekaligus figur publik, Raffi seharusnya segera memberikan klarifikasi begitu insiden ini muncul ke permukaan.
Langkah ini penting tidak hanya untuk meredakan keresahan masyarakat, tetapi juga untuk menunjukkan bahwa ia adalah pemimpin yang bertanggung jawab.
Namun, pilihan untuk bungkam selama tiga hari mencerminkan sikap yang jauh dari ideal seorang pejabat negara. Hal ini menimbulkan kesan bahwa ia lebih mementingkan citra pribadinya daripada menjalankan tugas sebagai pelayan masyarakat.
Privilege yang Tidak Lagi Relevan
Kasus ini kembali menyoroti budaya privilege di kalangan pejabat publik yang semakin tidak relevan.
Kendaraan pejabat yang mendapatkan pengawalan khusus, melaju dengan arogan di jalan raya, dan sering kali melanggar aturan lalu lintas adalah pemandangan yang sudah terlalu sering terjadi.
Situasi ini menciptakan kecemburuan sosial dan memperkuat kesan bahwa hukum tidak berlaku sama untuk semua orang.
Rakyat biasa harus menghadapi kemacetan setiap hari, menunggu berjam-jam dalam antrean kendaraan.
Sementara itu, pejabat publik merasa berhak mendapatkan keistimewaan, meskipun alasan yang mendasari privilege tersebut sering kali tidak masuk akal.
Jalanan adalah ruang bersama, dan semua pengguna jalan harus diperlakukan sama, tanpa terkecuali. Tidak ada urgensi yang cukup besar bagi seorang pejabat publik untuk mengabaikan aturan lalu lintas, apalagi dengan alasan “tugas negara” yang sering kali digunakan sebagai tameng.
Pejabat Harus Jadi Contoh
Sebagai pejabat publik, Raffi Ahmad memiliki tanggung jawab untuk menjadi contoh bagi masyarakat.
Bukan hanya dalam hal kebijakan atau program kerja, tetapi juga dalam perilaku sehari-hari. Tindakan patwalnya yang arogan dan penggunaan plat nomor RI 36 yang kontroversial bertentangan dengan semangat tersebut.
Jika pejabat publik tidak mampu menunjukkan disiplin dan kepatuhan terhadap aturan, bagaimana mereka dapat mengharapkan rakyat untuk melakukan hal yang sama?
Pejabat publik adalah representasi dari pemerintah. Tindakan mereka di jalan, di ruang publik, atau dalam kehidupan sehari-hari mencerminkan nilai-nilai yang dipegang oleh pemerintah secara keseluruhan.
Ketika pejabat publik bertindak arogan atau menggunakan privilege dengan cara yang tidak bertanggung jawab, hal itu merusak kepercayaan rakyat terhadap institusi negara.
Perlu Evaluasi dan Penertiban
Kasus ini seharusnya menjadi momen refleksi bagi pemerintah, terutama Presiden Prabowo Subianto, untuk mengevaluasi dan menertibkan penggunaan privilege oleh pejabat publik.
Penertiban ini tidak hanya sebatas pada pengawasan terhadap penggunaan plat nomor kendaraan pejabat, tetapi juga pada perilaku patwal dan tim pengawalan di jalan raya. Penggunaan plat nomor khusus seperti RI 36 harus diatur dengan jelas dan hanya digunakan oleh pihak yang benar-benar berhak, sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Selain itu, penting bagi pejabat publik untuk memahami bahwa tugas mereka adalah melayani masyarakat, bukan sebaliknya. Setiap pejabat harus menanamkan nilai-nilai kedisiplinan, tanggung jawab, dan kesetaraan dalam setiap aspek kehidupan mereka. Hanya dengan cara ini kepercayaan publik terhadap pemerintah dapat terjaga.
Catatan Penting
Polemik mobil berplat RI 36 dan patwal arogan adalah cerminan dari masalah yang lebih besar: budaya privilege dan kurangnya tanggung jawab di kalangan pejabat publik.
Sebagai pejabat negara, Raffi Ahmad tidak bisa lepas tangan dari insiden ini, meskipun ia tidak berada di dalam mobil saat kejadian. Diamnya selama tiga hari sebelum memberikan klarifikasi hanya memperburuk citranya sebagai seorang pejabat publik.
Privilege di jalan raya seharusnya tidak lagi diperlukan. Semua pengguna jalan harus diperlakukan sama, tanpa terkecuali.
Pejabat publik harus menjadi teladan, bukan sumber keresahan di masyarakat. Jika pemerintah tidak segera menertibkan budaya privilege ini, maka ketidakpuasan rakyat terhadap pejabat publik hanya akan semakin meningkat.
Sebagai pejabat negara, Raffi Ahmad memiliki tanggung jawab moral untuk menunjukkan integritas dan kepemimpinan yang baik. Jika ia tidak mampu melakukannya, mungkin sudah saatnya ia mempertimbangkan untuk mundur dari jabatannya
*Pakar Kebijakan Publik UPNVJ
#mobildinas#mobildinas#mobildinas#mobildinas#