Akankah Jokowi Menjadi Sampah Sejarah?

Saiful Huda Ems

Share

Oleh: Saiful Huda Ems*

INGAR bingar gelombang demonstrasi serentak mahasiswa yang menyatu dengan rakyat di berbagai penjuru kota di Indonesia pada Kamis (22/8/2024) masih terasa gemanya.

Betapa tidak, serdadu politik Jokowi –fraksi-fraksi di DPR RI minus PDIP– yang hendak mati-matian menjegal Keputusan MK No 60 dan 70 Tahun 2024, begitu mudahnya terjungkal oleh desakan massa yang membludak dalam aksi di Jakarta hingga kota-kota besar lainnya.

Mahasiswa menyatu dengan rakyat marah pada rezim Jokowi yang menggunakan tangan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI untuk membegal putusan MK. Mereka melampiaskan amarahnya dengan menjebol pagar-pagar Gedung DPR dari berbagai arah.

Alhasil anggota DPR yang berada di Gedung Senayan gemetar dan segera mengurungkan pengesahan revisi UU Pilkada. Mereka batal berparipurna dengan alasan tidak kuorum.

Dahsyat sekali gerakan mahasiswa yang menyatu dengan rakyat.

Namun jaga kewaspadaan penuh selama tiga hari ke depan, hingga 27 Agustus 2024. Kita khawatir DPR tiba-tiba nekad mengesahkan revisi UU Pilkada. Maka kita tentunya bertanya-tanya, apakah Jokowi dan keluarga bisa tidur nyenyak di tengah gelombang kesadaran revolusioner rakyat yang mulai berteriak lantang melawan rezim nepotis Jokowi?

Percaya atau tidak, sebagai manusia biasa mereka pasti ketakutan bahwa ternyata Jokowi bukan seperti dulu lagi yang powerfull dan sangat digandrungi rakyat berkat kesederhanaan, kejujuran, kecakapan kerjanya.

Baca Juga  Rangkuman Berita Utama Senin, 21 April 2025

Namun Jokowi kali ini, di akhir masa jabatannya sudah berubah menjadi sosok yang ambisius, rakus, tamak, bahkan brutal.

Dengan perubahan karakter demikian, rakyat mulai marah dan menunjukkan sikap tegas tanpa ragu. Jokowi dahulu memang hebat hingga rakyat memercayainya presiden dua periode. Namun ke depan, suka atau tidak suka, percaya atau tidak percaya, Jokowi hanya akan menjadi sampah sejarah.

Jokowi ini memang sangat sadis. Sampai-sampai ketua-ketua umum partai yang menjadi sandra politiknya bertekuk lutut padanya. Bahkan Bahlil Lahadia menyebutnya sebagai raja Jawa, dan mengingatkan pada seluruh pengurus Partai Golkar untuk tidak berbuat macam-macam kepadanya.

Presiden rasa raja ini pun orangnya tidak main-main. Jika ia menginginkan sesuatu, maka harus segera dilaksanakan. Tak terkecuali jika keinginan itu diinstruksikan pada lembaga negara yang mewakili rakyat seperti DPR sekalipun, harus dilaksanakan dalam waktu cepat meskipun itu terasa sangat tidak rasional.

Kebut RUU

Contoh mutakhir adalah instruksinya pada Baleg DPR RI soal pembahasan dan pengesahan berbagai rancangan undang-undang (RUU). Bayangkan dalam waktu 19 hari akan dikebut beberapa UU krusial.

Baca Juga  Rontoknya ‘Gerombolan’ Jokowi

Raja Jawa ini memang luar biasa kerja cepatnya. Kalau ada kemauan, harus segera dilaksanakan. Sayangnya kerja cepat yang asal-asalan, main kasar, tidak mau mendengar suara rakyat, juga lebih banyak didominasi syahwat berkuasanya, ini lebih tepat diistilahkan dengan srudak-sruduk. Hasilnya tentu akan membahayakan bangsa dan negara.

Misalnya saja jika RUU TNI dan RUU Polri disahkan, akan sama halnya dengan melawan demokrasi dan merupakan pengkhianatan nyata pada pencapaian agenda Reformasi ’98.

Entah karena begitu banyak jasanya Polri dan TNI pada pemenangan Capres Prabowo dan Wapres Gibran di Pilpres 2024, Polri dalam RUU banyak sekali diberikan keistimewaan, hingga membuatnya seolah menjadi lembaga super body.

Di Kompas.com, Jumat (23/8 /2024) saya membaca bahwa di dalam RUU-nya, Polri diberikan wewenang spionase atau memata-matai dan sabotase. Ini mengancam kedaulatan nasional. Jika RUU ini disahkan, Polri memiliki wewenang memeriksa aliran dan menggali bahan keterangan atas permintaan kementerian.

Selain itu, RUU Polri juga dinilai mengancam independensi lembaga lain seperti KPK. Sebab RUU itu menyatakan rekrutmen Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) lembaga seperti KPK dan kementerian, harus mendapat rekomendasi Polri. Ini bahaya sekali bukan?

Baca Juga  Rahayu Saraswati-Raden Priyono Versus Tembok Yerikho Mafia Migas

Kami kembali bertanya-tanya, kenapa Polri yang saat ini dipimpin orang kepercayaan Jokowi sejak dari Solo, hingga kini mendapatkan begitu banyak keistimewaan?

Bisa diibaratkan, jika TNI hanya mendapatkan permen melalui pos sejumlah jabatan sipil mirip dwifungsi di masa Orde Baru, maka Polri mendapatkan intan permata melalui berbagai kewenangan lewat RUU ini.

Apakah karena hal itu kemudian polisi sebegitu membabi buta memukuli secara ganas para demonstran yang turun ke jalan pada Kamis kemarin?

Apakah itu bentuk “balas budi” polisi ke Jokowi yang memberinya banyak keistimewaan di RUU?

Membuat UU memang adalah kewenangan lembaga legislatif. Namun RUU harus dibahas pula dengan pemerintah, disetujui bersama, lalu ditandatangani presiden. Demikian ketentuan hukum tata negara.

Maka jangan sekali-kali katakan pembahasan begitu banyak RUU dalam waktu 19 hari bukan inisiatif Jokowi sebagai Presiden, melainkan inisiatif DPR.

Yang jelas RUU tersebut merupakan inisiatif presiden dan anggota DPR yang sudah menghamba pada Jokowi. Sebab jika Jokowi tidak menghendaki, tentu Baleg DPR tidak akan membahasnya. Dan jika sudah dibahas, Presiden Jokowi lah yang akan menandatanganinya dengan masa tenggang maksimal 30 hari setelah disetujui oleh DPR.

Nah, ruwet kan?

 

*Lawyer dan Pemerhati politik

Share

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *