Oleh: Andre Vincent Wenas*
Sempat beredar di media tentang berkonsultasinya Bawaslu Sulawesi Utara ke Kemendagri soal mutasi pejabat di daerah, sehingga ada potensi didiskualifikasinya cakada yang merupakan petahana.
Kalau itu terjadi, semua usahanya selama berkampanye bakal terbuang sia-sia. Terbuang percuma.
Disebutkan daerah-daerah itu adalah Kota Bitung, Kabupaten Minahasa Utara, dan Kabupaten Bolaang Mongondow.
Anggota Bawaslu Sulut, Donny Rumagit, waktu itu memaparkan ada beberapa wilayah kabupaten dan kota yang melakukan pelantikan pejabat.
Hal ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 71 Undang Undang No. 10 tahun 2016.
UU itu mengatur Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
Waktu tahapan penetapan adalah tanggal 22 September 2024, maka jika ditarik sejauh enam bulan kebelakang jatuhnya pada tanggal 22 Maret 2024, pada rentang waktu itu tidak boleh ada pelantikan hingga berakhirnya masa jabatan seorang kepala daerah.
Dan berdasarkan temuan Bawaslu Sulawesi Utara tersebut, ketiga daerah tersebut, Kota Bitung, Minahasa Utara dan Bolaang Mongondow terindikasi kuat melanggar aturan yang sudah berlaku lama, yaitu sejak tahun 2016.
Sehingga tidak ada alasan apapun apalagi bagi petahana yang sudah berpengalaman tidak mengetahui aturan tersebut.
Mereka bakal terancam didiskualifikasi atau dibatalkan kepesertaannya dalam kontestasi pilkada. Itu jelas dan terang benderang.
Anggota Bawaslu Pusat, Puadi, menambahkan bahwa menggunakan program dan kegiatan pemerintah yang menguntungkan paslon enam bulan sebelum penetapan paslon sampai dengan penetapan paslon terpilih juga merupakan pelanggaran.
Bagaimana keputusan akhirnya?
Kita saksikan bersama sebentar lagi. Semoga aturan bisa ditegakkan seperti tegaknya pohon nyiur yang melambai-lambai di tanah Minahasa.
Dan hal lain yang juga terdengar sumbang atau fals adalah terjerumusnya (atau dijerumuskannya) penjabat struktural gereja dalam politisasi agama.
Ini ibarat Yudas Iskariot yang telah “menjual” Yesus kepada imam-imam kepala dan ahli Taurat dengan imbalan tiga puluh keping perak. Suara kebenaran tergadaikan.
Ya memperdagangkan “suara tuhan” (sesuai adagium Vox Populi Vox Dei) dengan melakukan politisasi di struktur pejabat gereja.
Di Sulawesi Utara yang terbesar adalah Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) dengan jemaat sekitar 830 ribu orang.
Skema politisasinya sangat halus dan licik. Kegiatan sosial yang dibungkus dengan istilah “sumbangan kasih” oleh para donatur.
Mereka rajin datang dan duduk di barisan depan gereja dengan wajah terdongak bangga. Padahal semua tahu sama tahu ada agenda busuk di balik semua sandiwara yang berbau hipokrisi itu.
Dan parahnya mereka lakukan itu semua tanpa malu-malu, karena memang sudah tidak punya malu sama sekali. Menyedihkan.
Akhirnya, kita semua mesti merefleksikan kembali nasihat bijak dari AZR Wenas, pendiri sekaligus Ketua Sinode pertama Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) yang gemanya makin terdengar sayup-sayup:
“Tanah dan Bangsa Minahasa adalah ciptaan dan anugerah Tuhan. Agama/gereja di Minahasa harus menjalankan misinya lepas dari pengaruh negara, sambil melaksanakan kesaksian kenabiannya melalui perbuatan yang nyata dengan mencerdaskan manusia, menolong orang yang sakit dan mengangkat derajat kesejahteraan Bangsa Minahasa.”
Semoga Opa Wenas bisa beristirahat dengan tenang dan damai sorga yang permai.
*Pemerhati masalah ekonomi dan politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSEPEKTIF (LKSP), Jakarta.
#bawaslu