Ironi Kebijakan: Bebas PPN Rp265,6 Triliun, tapi Rakyat Dibebani Kenaikan PPN 12%

Achmad Nur Hidayat

Share

Oleh: Achmad Nur Hidayat
(Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)

Kebijakan fiskal pemerintah kembali menjadi sorotan tajam setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan rencana pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar Rp265,6 triliun pada tahun 2025.

Alasan di balik kebijakan ini adalah untuk melindungi daya beli masyarakat, mendukung sektor riil, dan mendorong pemulihan ekonomi nasional.

Namun, di saat yang sama, pemerintah juga berencana menaikkan tarif PPN menjadi 12%, kebijakan yang tak pelak akan menambah beban ekonomi bagi masyarakat, khususnya kelas menengah dan bawah. Ironi ini tidak hanya menunjukkan paradoks dalam kebijakan fiskal pemerintah, tetapi juga mengungkapkan ketidakseimbangan prioritas yang berpotensi memicu tekanan ekonomi lebih dalam bagi rakyat.

Kebijakan Bebas PPN: Alokasi Besar dengan Janji Perlindungan

Sri Mulyani memaparkan rincian alokasi pembebasan PPN sebesar Rp265,6 triliun tersebut dengan menyasar berbagai sektor strategis.

Dari angka tersebut, Rp77,1 triliun dialokasikan untuk pembebasan PPN bahan makanan, Rp61,2 triliun untuk insentif UMKM, Rp34,4 triliun untuk sektor transportasi, serta Rp30,8 triliun untuk pendidikan dan kesehatan.

Sisanya digunakan untuk insentif di sektor jasa keuangan, asuransi, otomotif, properti, listrik, dan air.

Kebijakan ini diklaim sebagai wujud keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat banyak, khususnya kelompok ekonomi rentan yang paling terdampak oleh situasi ekonomi global yang belum stabil.

Namun, di balik angka-angka fantastis ini, muncul pertanyaan mendasar: dari mana pemerintah akan menutupi defisit yang ditimbulkan oleh kebijakan bebas pajak ini?

Sementara kebijakan ini tampak populis di permukaan, keberlanjutannya akan membebani kas negara dalam jangka panjang.

Lebih ironis lagi, upaya menambal defisit dilakukan melalui rencana kenaikan PPN menjadi 12%, yang jelas-jelas akan memengaruhi daya beli masyarakat luas.

Baca Juga  'No Breakthrough', as Ukraine Claims Russia Misled Them

Ini adalah paradoks kebijakan fiskal yang mengorbankan satu pihak untuk membiayai insentif pihak lain.

Dampak Kenaikan PPN terhadap Rakyat

Kenaikan PPN dari 11% ke 12% memang diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara. Perkiraan kasar menunjukkan tambahan pendapatan sekitar Rp70-100 triliun per tahun. Namun, kenaikan ini tidak serta-merta mampu menutup alokasi bebas PPN sebesar Rp265,6 triliun.

Justru, rakyat sebagai konsumen akhir akan menanggung beban terbesar dari kebijakan ini. PPN adalah pajak yang bersifat regresif, artinya semua lapisan masyarakat, baik kaya maupun miskin, membayar tarif yang sama.

Perbedaannya terletak pada dampak yang dirasakan: bagi kelompok bawah, kenaikan harga barang dan jasa akibat PPN akan lebih signifikan karena proporsi pendapatan mereka yang habis untuk konsumsi jauh lebih besar dibandingkan kelompok kaya.

Pemerintah memang membebaskan beberapa komponen dari kenaikan PPN, seperti kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan kesehatan.

Namun, ada ketidakkonsistenan dalam penerapan ini. Barang-barang seperti tepung terigu, gula industri, dan minyak curah (Minyak Kita) tetap dikenakan PPN 12%, meskipun pemerintah berjanji untuk menanggung bebannya (DTP – Ditanggung Pemerintah).

Mekanisme ini menciptakan potensi kebocoran, inefisiensi, dan ketidaktepatan sasaran. Konsumen akhirnya tetap dihadapkan pada kenaikan harga yang tidak dapat dihindari, terutama bagi produk-produk yang memiliki rantai distribusi panjang.

Kesenjangan Prioritas dalam Kebijakan Fiskal

Kebijakan bebas PPN dengan nilai sebesar Rp265,6 triliun tampaknya disusun untuk menyenangkan semua pihak: mendukung daya beli masyarakat, membantu sektor usaha, serta menjaga stabilitas ekonomi.

Namun, jika ditelaah lebih dalam, kebijakan ini memiliki kelemahan mendasar, yaitu ketidaktepatan prioritas.

Baca Juga  Kenaikan UMP 2025 Harus Disertai Kebijakan Inklusif bagi Pekerja Informal

Alokasi insentif sebesar Rp77,1 triliun untuk bahan makanan, misalnya, belum tentu akan menurunkan harga pangan di pasar jika tidak diiringi dengan pengawasan ketat.

Para pelaku distribusi bisa saja menikmati keuntungan dari kebijakan ini, sementara rakyat tetap membayar harga yang tinggi.

Begitu pula insentif untuk otomotif dan properti sebesar Rp15,7 triliun yang terlihat lebih berpihak pada kelompok masyarakat mampu, bukan kelas menengah ke bawah yang lebih membutuhkan.

Kebijakan ini menimbulkan ironi di mana pemerintah, yang seharusnya memperjuangkan keadilan sosial, justru memberikan stimulus bagi sektor-sektor yang tidak menyasar kelompok rentan secara langsung.

Pemerintah sering menekankan bahwa kebijakan pajak berlandaskan asas keadilan dan gotong royong, di mana kelompok mampu membayar lebih banyak, sementara kelompok rentan dilindungi.

Namun, rencana kenaikan PPN menjadi 12% justru mencerminkan kesenjangan fiskal yang semakin melebar. Beban tambahan dari PPN akan paling dirasakan oleh masyarakat kelas bawah, meskipun mereka mendapatkan insentif dalam bentuk bantuan sosial.

Kebijakan ini seperti mengambil dengan tangan kanan, tetapi memberi dengan tangan kiri, yang dalam praktiknya tidak akan sepenuhnya menutupi dampak negatif kenaikan tarif pajak.

Dampak terhadap Fiskal Negara

Dari sisi fiskal, kebijakan ini patut dikritisi. Kebutuhan anggaran sebesar Rp265,6 triliun untuk insentif PPN menciptakan tekanan serius terhadap APBN 2025.

Dengan potensi tambahan penerimaan dari kenaikan PPN hanya sekitar Rp70-100 triliun, jelas ada kesenjangan besar yang harus ditutupi pemerintah.

Dalam kondisi utang negara yang sudah mencapai 40% dari PDB, langkah ini akan semakin membebani fiskal negara dan menurunkan ruang gerak kebijakan anggaran di masa depan.

Baca Juga  Butuh Reformasi Polri Sejati untuk Mengakhiri Perlindungan Tambang Ilegal

Lebih dari itu, kebijakan ini berpotensi menciptakan ketergantungan struktural terhadap insentif pajak. Sektor usaha yang diuntungkan oleh insentif mungkin tidak akan berupaya meningkatkan efisiensi atau daya saing mereka secara mandiri.

Hal ini justru menciptakan risiko jangka panjang terhadap perekonomian nasional. Stimulus yang bersifat sementara tidak akan menyelesaikan masalah struktural yang dihadapi sektor usaha dan konsumsi masyarakat.

Kebijakan yang Kontradiktif dan Berisiko

Judul “Ironi Kebijakan: Bebas PPN Rp265,6 Triliun, Tapi Rakyat Dibebani Kenaikan PPN 12%” bukan sekadar retorika.

Kebijakan fiskal pemerintah di satu sisi berupaya memberikan insentif besar-besaran untuk melindungi daya beli dan mendukung sektor usaha, namun di sisi lain justru menambah beban ekonomi melalui kenaikan tarif PPN.

Ini adalah paradoks kebijakan yang mencerminkan ketidakseimbangan prioritas dan kelemahan dalam perencanaan fiskal.

Rakyat, terutama kelas menengah dan bawah, akan menjadi pihak yang paling terdampak oleh kebijakan ini.

Kenaikan tarif PPN yang regresif akan menggerus daya beli mereka, sementara manfaat dari insentif pajak tidak selalu mereka rasakan secara langsung.

Pemerintah perlu menyadari bahwa kebijakan yang populis di permukaan tidak selalu berkelanjutan dan berdampak positif dalam jangka panjang.

Di tengah situasi ekonomi yang belum stabil, pemerintah harus lebih berhati-hati dalam merancang kebijakan fiskal. Prioritas harus diberikan kepada pemerataan kesejahteraan, penguatan daya beli masyarakat, serta reformasi struktural yang mendorong efisiensi dan daya saing ekonomi nasional.

Tanpa pendekatan yang lebih berkeadilan dan transparan, kebijakan ini hanya akan menjadi ironi fiskal yang menambah beban rakyat dan merusak kepercayaan terhadap pemerintah.

#bebasppn

Share

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *