Kesabaran Revolusioner di Ujung Lengsernya Jokowi

Saiful Huda Ems

Share

Oleh: Saiful Huda Ems*

PULANG dari Jerman akhir tahun 1995, saya terlibat pembicaraan dengan banyak orang, juga komunitas. Saat itu saya menjelaskan soal terjadinya kerusakan tatanan hukum, politik, juga perekonomian Indonesia. Negara ini entah dalam waktu cepat atau lambat, perekonomiannya akan hancur.

Apa respons dari penjelasan-penjelasan saya ketika itu?

Cibiran demi cibiran dari orang-orang yang tidak menyukai pembicaraan saya tentang politik, khususnya kritikan-kritikan saya pada rezim Orde Baru Soeharto kala itu.

“Orang kok tiap hari ngomongin politik melulu. Orang kok tiap hari ngomongin Presiden Soeharto melulu. Baru jadi Mahasiswa saja sudah sok tahu. Pak Harto jauh lebih hebat dari kamu. Biarkan politik menjadi urusan para pejabat negara saja…”

Begitulah kata-kata yang sering saya terimah dari kebanyakan orang, bahkan hal itu sering terjadi pula di kampus antara tahun 1996 hingga menjelang krisis moneter tahun 1997. Hati terasa sesak, namun saya selalu mencoba untuk tetap bersabar sambil tiada henti terus menerus memantau keadaan.

Setiap saya dan kawan-kawan melakukan aksi demonstrasi, saya perhatikan nyaris tidak ada yang serius melihat kami apalagi mau mendengar suara-suara kami. Mereka bahkan malah asyik bermesraan dengan pacar-pacarnya, atau ngobrol dengan teman-temannya sendiri. Mereka cuek.

Alhasil pada Juli 1997, Indonesia diterpa badai krisis moneter. Banyak terjadi pelarian modal (capital flight), utang luar negeri Indonesia menumpuk. Nilai tukar Dollar Amerika Serikat kepada rupiah melonjak tinggi hingga tahun 1998.

Baca Juga  Indonesia Darurat Ibu Kota Negara

Kalau tidak salah awalnya nilai tukar dollar hanya Rp2.500, bahkan sebelumnya selalu dibawah Rp2.000. Kemudian meroket hingga Rp16.800. Ini gila!

Tiba-tiba banyak teman-teman yang berhenti kuliah karena orang tuanya di-PHK, bangkrut, dll. Orang-orang yang awalnya sok kaya, penampilannya bak bintang-bintang Hollywood, tiba-tiba penampilannya jadi berubah 180 derajat karena jatuh bangkrut.

Harga-harga barang melonjak tinggi. Sebulan sebelum krisis moneter saya beli televisi 21 inci harganya Rp650.000, namun sebulan kemudian televisi dengan merk yang sama harganya naik jadi Rp1,2 juta. Harga mobil, motor, dan yang lainnya juga naik hingga tiga kali lipat.

Masyarakat di ibu kota dan di berbagai daerah atau perkotaan kepalanya mulai puyeng. Dunia perdukunan tiba-tiba laris manis, karena kebanyakan orang sudah mulai tak mempercayai lagi logika akal sehat, melainkan lebih percaya pada yang berbau-bau klenik.

Di masa seperti itu, tiba-tiba banyak mahasiswa mendadak jadi aktivis. Mereka yang biasanya asyik pacaran dan menolak obrolan politik, tiba-tiba ikutan demo dengan pacar-pacarnya, memegang mike dan bersuara keras melebihi aktivis-aktivis lama yang sebelumnya berorasi di depan mereka dan yang diacuhkannya.

Perekonomian mulai berangsur normal ketika Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998, setelah rezim itu didemo rakyat dari segala penjuru daerah selama beberapa hari untuk mendesaknya mundur.

Baca Juga  Anies dan Ahok Hanyalah Korban Intrik Mulyono

Padahal sebelumnya, jangankan berani mendesak Soeharto mundur, bicara tentang kediktatorannya saja sangat jarang yang punya nyali, kecuali aktivis-aktivis lama seperti kami yang sudah bertekad berjuang sampai mati.

Waktu demi waktu terus berganti, presiden demi presiden pun silih berganti. Rakyat mulai dapat bernafas lega dengan kebebasan berekspresinya, dengan peningkatan taraf hidup perekonomiannya. Tetapi Presiden Jokowi mulai lupa diri, ndablek, tidak mau mendengar kritik-kritik konstruktif dari rakyatnya.

Maka pada Juni 2024, nilai tukar USD terhadap rupiah kembali melonjak, nyaris menyamai puncak krisis moneter 1998. Jika pada puncak krisis itu nilai tukar USD Rp16.800, saat Juni 2024 Rp16.450.

Perbedaannya, ketika dulu ekonomi kacau, Soearto masih bersedia mendengar suara rakyat. Banyak kritikus dipanggilnya ke Istana untuk didengar pendapatnya. Sedangkan Jokowi malah semakin budeg telinganya dan semakin angkuh sikapnya, di balik kemasan pencitraannya yang lembut dan kalem melebihi halusnya permadani Persia.

Dan para penjilat rezim Jokowi mingkem saja, bahkan semakin gegabah mengagung-agungkan Jokowi dan anak-anak serta menantunya yang bermasalah. Mereka pun semakin bringas mencaci maki para kritikus sampai membabi buta, seolah siraman bansos yang diterimanya dapat dijadikan bekal hidup sampai kiamat.

Baca Juga  Akankah Jokowi Menjadi Sampah Sejarah?

Tenang, tenang, bukan tugas kita lagi nantinya untuk menjelaskan pada mereka tentang keadaan yang terjadi di negeri ini di masa kepemimpinan Jokowi. Namun bila badai persoalan dahsyat perekonomian Indonesia sudah datang pada waktunya, mereka akan segera mingkem sendiri karena sibuk dengan persoalan hidupnya sendiri.

Ingat peristiwa krisis moneter 1997 dan 1998, ingat betapa kuat dan besarnya dukungan untuk rezim Soeharto sebelum ia dilengserkan. Mereka itu tidak sedang berlindung di kekuatan Tuhan Yang Maha Besar, melainkan berlindung di jaring laba-laba yang sangat rapuh dan mudah terkoyak.

Hiduplah dalam kesabaran revolusioner dan kemerdekaan sebagai manusia seutuhnya akan kau dapatkan. Rezim Jokowi akan segera berakhir pada Minggu, 20 Oktober 2024.

Persiapkan segalanya untuk mengantisipasi datangnya perubahan. Kita semua tentu berharap akan terjadi perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara yang jauh lebih baik, namun bila keadaan yang terjadi kemudian adalah yang sebaliknya, kita jangan sampai terkejut.

Minimal kita sudah berusaha untuk mengantisipasinya, serta tidak gegabah membiarkan kepemimpinan nasional ke depan dipimpin Presiden Prabowo Subianto yang kabinetnya masih diisi orang-orang di Kabinet Pemerintahan Jokowi yang banyak bermasalah.

Jangan lelah bersuara untuk terus menerus mengkritisinya, demi dan untuk Indonesia yang lebih baik, maju dan beradab. Merdeka!

 

*Lawyer dan Analis Politik

Share

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *