Jakarta – Pemerintah terus menyusun kebijakan mengenai kecerdasan artifisial (artificial intelligence/AI) agar dapat menguntungkan masyarakat di tengah kondisi geopolitik global yang dinamis.
Staf Ahli Menkominfo bidang Sosial, Ekonomi, dan Budaya Wijaya Kusumawardhana mengatakan, dua kekuatan besar global AS dan China dalam pengembangan AI memiliki pandangan berbeda.
“Kita coba mengadopsi seluruh kebijakan yang terbaik secara bilateral maupun multilateral,” kata Wijaya di dalam diskusi bertajuk “AI: Sekadar Tren atau Sudah Menjadi Kebutuhan?” di Jakarta Selatan, Senin (9/9/2024).
Dalam lanskap pengembangan AI global, AS dan Uni Eropa berfokus pada pentingnya keamanan data yang menjadi sumber pengembangan AI agar tidak menyalahi privasi pemilik data. Makanya Indonesia mengikuti langkah serupa dengan menghadirkan UU 27/2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (PDP).
Sedangkan pengembangan AI di China difokuskan agar melibatkan banyak pihak sehingga bisa menjadi solusi yang lebih besar untuk masyarakat.
Indonesia mencontoh hal tersebut dengan mendorong pelaku industri mengadopsi AI, namun harus sesuai etika seperti dianjurkan dalam Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika RI Nomor 9/2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial.
“Indonesia harus mencari yang terbaik untuk kepentingan bangsa. Kami lihat yang paling utama adalah melindungi manusianya. Intinya jangan sampai AI mengabaikan peran manusia,” katanya.
Sembari menantikan aturan yang sifatnya mengikat secara khusus untuk tata kelola AI di Indonesia, Wijaya mengatakan sudah ada beberapa kebijakan yang sejalan dan bisa dimanfaatkan apabila terjadi penyalahgunaan AI sebagai teknologi.
Misalnya UU 1/2024 tentang Perubahan Kedua atas UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Lalu UU PDP.
Ada juga aturan dari lembaga terkait bagi sektor yang telah aktif menggunakan AI. Ini bisa dijadikan rujukan sebagai langkah memitigasi masalah yang mungkin timbul di kemudian hari.
Contoh adalah aturan yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada akhir 2023 untuk para pelaku industri teknologi finansial. Ini berupa Panduan Kode Etik KA (kecerdasan artifisial) yang bertanggung jawab dan terpercaya di industri teknologi finansial.
Cepat berubah
Di acara yang sama, William Lim, CEO Glair AI menyebut setelah AI Generatif, tren selanjutnya adalah AI Agents. Dia katakan bahwa AI Generatif peminatnya tinggi sekali sedangkan pengembangnya hanya sedikit.
“Jadi tren teknologi berikutnya, setelah generatif AI itu AI Agent,” imbuhnya.
Pada dasarnya, imbuh William, AI Agents mirip seperti AI Assistant. Dia dapat membantu manusia dalam membuat sesuatu. Inti dari AI Agents ada dua, yakni Large Language Model (LLM) dan Multimodal Interaction.
Ia menjelaskan LLM ini seperti otak yang mampu berpikir dengan menyediakan data dan informasi. Sementara Multimodal Interaction bisa melihat visual, mendengar audio, VR dan AR.
Dalam proses ini, AI Agents akan belajar beradaptasi dengan arahan pengguna. Meskipun bersifat otonom dalam proses pengambilan keputusan, mereka memerlukan tujuan yang ditentukan oleh manusia. Program ini bisa menyelesaikan isu dengan berbagai tools.
Dengan memanfaatkan AI Agent, perusahaan bisa menangkap lebih banyak potensi pendapatan sekaligus mengatasi kekurangan talent dalam membangun AI.
“Sekarang kita minta AI Agents untuk bantu kita develop AI,” kata dia.
William menjelaskan, penerapan AI sudah banyak digunakan di berbagai bidang, seperti customer support, recruitment, training, hingga debt collector.
“Paling populer tentu customer support karena 90 persen menggunakan AI. Bahkan untuk sekarang debt collector juga bisa digantikan AI karena bisa menghubungi pelanggan atau nasabah secara langsung.” pungkasnya.
(red)