Oleh: Saiful Huda Ems
Sidang praperadilan yang dimohonkan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto melalui kuasa hukumnya di Pengadilan Negri Jakarta Selatan, Kamis (6/2/2025), telah mulai babak baru dengan hadirnya pihak termohon, yakni KPK.
Melalui Tim Biro Hukumnya, KPK memberikan jawaban terhadap pokok permohonan praperadilan Hasto Kristiyanto, yakni sekelompok petugas kepolisian telah menggagalkan operasi tangkap tangan KPK atas Hasto Kristiyanto dan Harun Masiku, di PTIK awal tahun 2020 lalu.
Jawaban pihak KPK itu sesungguhnya tidak benar, sangat mengada-ada. Alasannya:
Pertama, menurut Hasto Kristiyanto, dia tidak pernah ke PTIK. Hal ini dibenarkan oleh tiadanya bukti apapun yang mengarah ke sana.
Bukankah hingga saat ini tidak ada bukti apapun yang dapat ditunjukkan oleh KPK, bahwa Hasto Kristiyanto ada di PTIK pada saat peristiwa OTT itu?
Kedua, pengamanan di PTIK ketat sekali karena pada saat kejadian tersebut Ma’ruf Amin yang kala itu menjabat wakil presiden, akan jalan-jalan pagi di PTIK.
Dari sini KPK nampak selalu melakukan framing.
Ketiga, bukti-bukti yang disampaikan termohon (KPK) tidak relevan sebab tidak ada bukti-bukti baru (novum).
Misalnya saja, Wahyu Setiawan menyatakan tidak menyampaikan hal-hal baru saat diperiksa oleh KPK.
Hal ini menunjukkan bahwa klaim termohon, yang menyatakan memiliki novum dengan mencantumkan nama Wahyu Setiawan sebagai bukti baru, tidak valid dan mengada-ada.
Pasalnya Wahyu Setiawan sendiri telah menyatakan, “Saya ditanya (oleh KPK) pertanyaan yang mengulang-ulang dari pertanyaan sebelumnya, jadi tidak ada informasi baru yang saya berikan”.
Di sinilah semuanya menjadi jelas, bahwa perkara suap Harun Masiku yang menyeret-nyeret nama Hasto Kristiyanto itu hanyalah upaya kriminalisasi KPK terhadap Hasto Kristiyanto, yang selama ini dikenal sebagai figur yang sangat vokal, bersuara kritis terhadap berbagai pelanggaran hukum atau penyalah gunaan kekuasaan (abuse of power) yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo.
Dan Hasto Kristiyanto yang merupakan sekjen dari partai terbesar yakni PDIP yang tercatat tiga kali berturut-turut memenangi pemilu, dianggap sebagai ganjalan terbesar bagi Jokowi dan para pengikutnya untuk menguasai kembali pemerintahan Indonesia.
Mungkin karena hal itu, KPK, dalam hal ini Rosa sejak awal telah dikondisikan oleh orang-orang Jokowi untuk dijadikan sebagai alat penekan dan pembungkam lawan-lawan politiknya.
Karena itu pula melalui pembentukan Panitia Seleksi Capim KPK 2024, Presiden Jokowi ketika itu telah memasang orang-orangnya di KPK, padahal harusnya itu sudah menjadi kewenangan presiden terpilih, Prabowo Subianto.
Sidang Praperadilan yang diajukan oleh Hasto Kristiyanto akan terus berlangsung melawan penyidik KPK di PN Jakarta Selatan hingga Kamis (13/02/2025).
Dari pihak pemohon telah banyak menunjukkan bukti-bukti kesalahan prosedur dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh penyidik KPK saat menetapkan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka.
Namun di sisi lain pihak KPK malah berkutat pada kesaksian palsunya sendiri dan pengajuan bukti-bukti lama yang tidak ada hal yang baru sama sekali, meskipun selalu dikatakannya dengan berulang-ulang, bahwa KPK memiliki novum.
Bekerja berdasarkan pesanan memang membingungkan bukan?
Maka kembalilah menjadi institusi yang independen dan berwibawa KPK, jangan mau lagi diremot oleh pihak di luar institusi sendiri.
Banyak koruptor kelas kakap yang harus ditangkap, kenapa kasus suap recehan PAW caleg yang sudah meninggal dunia, yang masih dibesar-besarkan?
Beranilah berkata tidak kepada Jokowi.
Lagian kalau mau jujur, kenapa dulu Rosa tidak menangkap Harun Masiku?
Katanya hanya butuh waktu seminggu. Lalu kalau tidak ada bukti untuk menetapkan Hasto sebagai tersangka, kenapa BAP untuk kasus Wahyu Setiawan, Tio, dan Syaiful lalu diangkat kembali sebagai barang bukti padahal keputusan sudah inkrah?
KPK harus cermat bahwa kelanjutan persidangan tersebut hanya bisa dilanjutkan untuk Harun Masiku, bukan untuk Hasto Kristiyanto.
*Lawyer dan analis politik
#hukum#hukum