Oleh: Achmad Nur Hidayat (Ekonom UPNV Jakarta)
Penggolongan Upah Minimum Provinsi (UMP) berdasarkan jenis industri, seperti padat karya dan padat modal, merupakan langkah yang progresif dan berpotensi menciptakan keseimbangan yang lebih adil dalam sistem pengupahan.
Kebijakan ini memberikan pendekatan yang lebih adaptif terhadap kebutuhan dan tantangan masing-masing sektor industri, yang memiliki karakteristik ekonomi berbeda.
Industri padat karya, seperti tekstil, garmen, atau manufaktur ringan, biasanya memiliki struktur biaya yang lebih sensitif terhadap komponen upah.
Di sisi lain, industri padat modal, seperti teknologi, otomotif, atau farmasi, memiliki daya dukung yang lebih besar karena penggunaan teknologi canggih dan skala investasi tinggi.
Dengan penggolongan UMP, industri padat karya dapat memiliki standar upah yang lebih sesuai dengan kemampuan finansial mereka, sementara industri padat modal tetap memberikan upah yang lebih tinggi, sejalan dengan margin keuntungan mereka yang lebih besar.
Kebijakan ini juga berpotensi meningkatkan daya saing industri, khususnya bagi sektor padat karya yang menghadapi persaingan ketat dari negara lain seperti Vietnam atau Bangladesh.
Biaya produksi yang lebih kompetitif dapat menarik lebih banyak investasi baru dan mencegah relokasi pabrik ke negara lain.
Selain itu, kebijakan ini dapat membantu sektor padat karya mempertahankan lapangan kerja, mengurangi risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat tekanan biaya yang terlalu tinggi.
Dalam konteks tenaga kerja, kebijakan penggolongan UMP memberikan fleksibilitas yang dibutuhkan untuk menciptakan keadilan. Industri padat modal, dengan pekerja yang umumnya memiliki keterampilan tinggi, dapat didorong untuk memberikan upah lebih besar, sehingga memperkuat daya beli dan kesejahteraan pekerja.
Di sisi lain, sektor padat karya tetap dapat memenuhi kebutuhan dasar pekerjanya tanpa membebani kapasitas finansial perusahaan secara berlebihan.
Penggolongan ini juga membuka ruang dialog yang lebih intensif antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja.
Dengan melibatkan semua pihak dalam proses penentuan, kebijakan pengupahan dapat dirancang secara inklusif, berbasis data, dan mencerminkan kondisi riil di lapangan.
Hal ini memastikan bahwa kebijakan tersebut dapat diterima dan dijalankan secara efektif oleh semua pihak yang terlibat.
Penggolongan UMP berdasarkan padat karya dan padat modal, jika diterapkan dengan baik, akan menciptakan keseimbangan antara kebutuhan pekerja dan keberlanjutan usaha.
Kebijakan ini tidak hanya memberikan keadilan tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Pemerintah perlu memastikan transparansi, pengawasan yang baik, serta keterlibatan semua pemangku kepentingan untuk menjamin keberhasilan implementasinya.
Kisaran UMP yang Adil di Tengah Perlambatan Ekonomi
Menentukan kisaran UMP yang adil bagi tenaga kerja dan pengusaha, terutama di tengah perlambatan ekonomi, memerlukan keseimbangan antara kesejahteraan pekerja dan keberlangsungan usaha.
Kenaikan UMP harus mempertimbangkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, produktivitas, dan kondisi spesifik industri.
Misalnya, dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 51 Tahun 2023, penetapan UMP mempertimbangkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu yang menggambarkan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi.
Dalam situasi perlambatan ekonomi, kenaikan UMP yang terlalu tinggi dapat membebani pengusaha dan berpotensi mengurangi daya saing industri.
Sebaliknya, kenaikan yang terlalu rendah mungkin tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak pekerja. Oleh karena itu, diperlukan dialog antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja untuk mencapai kesepakatan yang seimbang dan berkeadilan.