Jakarta – Maraknya peredaran rokok ilegal di Indonesia tidak hanya menjadi masalah hukum, tetapi juga mencerminkan persoalan sosial dan ekonomi yang lebih dalam. Harga rokok legal yang tinggi membuatnya sulit diakses masyarakat berpenghasilan rendah lalu beralih ke rokok ilegal sebagai alternatif.
Demikian pernyataan Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (11/12).
Dia mengatakan, banyaknya rokok ilegal yang tersedia di pasar membuat pemberantasan melalui penindakan hukum dan pemusnahan terbukti tidak cukup. Jadi perlu langkah baru yang lebih komprehensif guna menyelesaikan akar masalah.
Upaya pemerintah memberantas rokok ilegal telah dilakukan melalui berbagai cara, seperti operasi penindakan, sosialisasi, hingga pemusnahan produk ilegal.
Selama November hingga Desember 2024, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) di Jawa Tengah berhasil menyita 24,2 juta batang rokok ilegal dengan nilai Rp33,6 miliar.
Di Cianjur, sosialisasi tentang bahaya rokok ilegal dilakukan melalui radio untuk menjangkau masyarakat pelosok.
“Hasil dari upaya tersebut belum signifikan. Rokok ilegal masih mudah ditemukan di pasar tradisional, kios, hingga lintas provinsi. Pendekatan represif hanya menyentuh permukaan masalah tanpa menangani penyebab utamanya, yakni mahalnya harga rokok legal dan rendahnya daya beli masyarakat,” ujar Achmad.
Pendekatan saat ini tidak efektif dikarenakan, pertama sebab harga rokok legal tidak terjangkau. Sebagai kebutuhan yang dianggap prioritas oleh sebagian masyarakat berpenghasilan rendah, harga rokok legal yang tinggi menjadi penghalang utama. Mereka cenderung memilih produk yang lebih murah, meskipun ilegal dan berpotensi membahayakan kesehatan.
Kedua, pasokan rokok ilegal yang melimpah. Rokok ilegal tersedia dalam berbagai merek dan mudah diakses. Pilihan yang melimpah ini membuat konsumen tidak kesulitan mendapatkan produk alternatif dengan harga jauh lebih murah dibandingkan rokok legal.
Ketiga, fokus pada penindakan hukum. Strategi saat ini lebih banyak mengandalkan operasi penindakan dan pemusnahan, tetapi gagal memberikan solusi terhadap kebutuhan konsumen dan masalah ekonomi di balik tingginya permintaan rokok ilegal.
Keempat, kurangnya pendekatan komprehensif. Upaya pemberantasan masih terfragmentasi. Pemerintah belum menerapkan kebijakan yang mencakup sisi ekonomi, distribusi, dan edukasi konsumen secara menyeluruh.
Pendekatan Baru
Untuk memberantas rokok ilegal secara efektif, Achmad menyarankan pemerintah perlu mengadopsi strategi yang lebih menyeluruh, mencakup aspek distribusi dan edukasi.
Misalnya, mengedukasi masyarakat berbasis komunitas. Edukasi tentang bahaya rokok ilegal dan pentingnya memilih produk legal harus dilakukan melalui pendekatan berbasis komunitas. Pendekatan ini memungkinkan pesan pemerintah lebih diterima oleh masyarakat karena melibatkan tokoh lokal dan dialog langsung.
Diversifikasi produk, di mana produsen legal didorong memproduksi rokok harga terjangkau, namun memenuhi standar cukai dan kesehatan. Diversifikasi ini memberikan alternatif bagi konsumen tanpa harus beralih ke produk ilegal.
Penegakan hukum yang terarah kepada produsen dan distributor besar rokok ilegal, bukan hanya pada pedagang kecil. Ini akan lebih efektif memutus rantai distribusi produk ilegal di pasar.
Lalu untuk petani yang tidak memiliki akses ke produsen resmi, pemerintah perlu memberikan insentif dan akses pasar agar mereka dapat menjual hasil panen ke industri resmi. Dengan memperkuat edukasi dan insentif bagi petani tembakau, peredaran rokok ilegal dapat ditekan secara signifikan.
“Mengurangi rokok ilegal berarti meningkatkan penjualan rokok legal, yang pada gilirannya meningkatkan penerimaan negara dari cukai tembakau. Sedangkan masyarakat akan lebih terlindungi dari produk yang tidak terjamin kualitasnya, sehingga dampak buruk terhadap kesehatan dapat dikurangi,” imbuh dia.
red