Jakarta – Indonesia sejak awal merdeka telah berupaya membangun perekonomian dengan berbagai sistem, mulai dari imaji ekonomi warisan undang-undang dasar yang sangat sosialis sampai ke upaya membuka keran besar bagi modal asing. Namun belum ada sistem ekonomi yang berhasil mewujudkan pemerataan dan kemakmuran.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudistira, mengatakan, sudah saatnya Indonesia menemukan kekuatannya sendiri, tanpa mengikuti model ekonomi mainstream.
Model ekonomi Indonesia yang terbukti berhasil tahan terhadap krisis, seperti krisis moneter 1998 dan pandemi Covid-19, adalah ekonomi yang tumbuh dari masyarakat lokal dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
“Inilah wujud ekonomi yang tak hanya memeratakan kesejahteraan, tapi juga memulihkan alam karena menghindar dari upaya-upaya ekstraksi besar-besaran seperti penambangan dan perkebunan monokultur yang massif,” urai Bhima Yudistira dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu (23/10).
Sistem ekonomi restoratif, kata Bhima, memberikan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan lingkungan. Dalam studinya, Celios mendefinisikan ekonomi restoratif sebagai model ekonomi yang bertujuan memulihkan ekosistem terdegradasi untuk mendapatkan kembali fungsi ekologis dan menyediakan barang serta jasa yang bernilai bagi masyarakat.
“Kalau pemerintah tidak akui ini model ekonomi yang Indonesia banget dan proven, inilah kerugian kita,” tegas Bhima.
Memperbaiki model ekonomi yang tidak merata
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun, Walhi, Ully Artha Siagian menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia, ekonomi dan lingkungan. Untuk membangun ekonomi restoratif dan ekonomi nusantara yang berkelanjutan, Ully menekankan perlunya mengkritisi model ekonomi ekstraktif dan kapitalistik yang berlaku saat ini.
Berdasarkan riset Walhi tahun 2019-2020, ekonomi masyarakat tetap kuat ketika lingkungannya terjaga, termasuk di kawasan gambut, dataran tinggi, dan pesisir.
Koordinator Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari Ristika Putri Istanti, menyoroti upaya transformasi di tingkat kabupaten yang telah dimulai sejak 2017, dengan beberapa daerah secara sukarela bergerak menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Kebakaran hutan masif pada 2019 dan banjir besar di Kalimantan pada 2021 menjadi pendorong bagi asosiasi untuk mendorong transformasi kebijakan di tingkat kabupaten. Namun, tantangan besar tetap ada, mengingat luas dan beragamnya kondisi di Indonesia.
Ristika menyerukan ekstraksi sumber daya dan perkebunan monokultur harus ditahan. Indonesia perlu mendorong pengelolaan yang bertanggung jawab dan pengembangan komoditas yang beragam.
Menurut Ristika, ekonomi restoratif tidak hanya tentang memulihkan hutan, tetapi juga tentang memperbaiki model ekonomi yang tidak merata. Ia juga menyarankan agar negara memiliki ambang batas yang jelas terkait kapan harus membuka, memperluas, atau menghentikan kegiatan ekonomi.
Sedangkan Bhima mempertanyakan model ekonomi ekstraktif yang dianggap solutif oleh sebagian pihak. Menurut hasil penelitian Celios, desa yang memiliki basis pendapatan ekstraktif dari penambangan misalnya, cenderung susah mendapatkan fasilitas kesehatan dan pendidikan.
Lebih parah lagi, ketergantungan pada komoditas seperti nikel dan batubara, yang harganya fluktuatif dan cenderung terus menurun, membuat ekonomi Indonesia rentan dikendalikan oleh eksternal. Bhima menilai, ekonomi ekstraktif tidak hanya destruktif, tetapi juga merusak lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat.
Pengamat ekonomi Harryadin Mahardika menjelaskan dilema Indonesia memilih model ekonomi. Indonesia ingin industrialisasi, tetapi kenyataannya tidak mudah karena sudah tertinggal dari efisiensi industri Cina, India, atau Vietnam.
Karena itu, Indonesia saat ini tampak mengejar kekayaan dengan strategi ekstraksi sumber daya dan hilirisasi. Menurut dia, ini adalah langkah pragmatis tapi realistis dari pemerintahan Joko Widodo yang segera berlalu.
Di Indonesia, tambahnya, kebijakan ekonomi yang ada saat ini belum berhasil menciptakan efek trickle-down atau mendistribusikan kekayaan secara merata kepada rakyat seperti yang diharapkan.
Purwanto Setiadi, koordinator penulis buku “Saatnya Ekonomi Restoratif” mengatakan buku ini hadir untuk merangkum inisiasi praktik ekonomi restoratif yang sudah berlangsung di nusantara, sebagai respons atas praktik yang tidak adil dan ancaman bencana ekologis.
Ia berharap buku ini memperkaya narasi model transformasi dan restorasi yang utuh untuk perbaikan ekonomi Indonesia.
Rangkuman diskusi ini merupakan kolaborasi antara Celios, platform LaporIklim, radio jaringan KBR, sejumlah penulis independen, dan beberapa lembaga pendukung, yakni: Econusa; Lingkar Temu Kabupaten Lestari; Koalisi Ekonomi Membumi; Traction Energi Asia; Iklimku.org; dan Yayasan Bambu Lestari.
red