Seoul – Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un menyatakan pihaknya tidak akan ragu menggunakan kekuatan militer terhadap “negara musuh”, jika Korea Selatan melanggar kedaulatan Pyongyang.
“Pasukan militer kami harus sekali lagi memahami dengan jelas fakta yang tidak dapat disangkal bahwa Korea Selatan adalah negara asing dan negara yang sepenuhnya bermusuhan,” kata Kim, seperti dikutip kantor berita resmi Korut, KCNA, Jumat (18/10).
Kim juga mengatakan bahwa situasi keamanan di Semenanjung Korea mengharuskan dilakukannya segala upaya untuk meningkatkan kemampuan berperang, dan untuk lebih hati-hati memastikan perlindungan yang konsisten bagi keamanan Korut.
Kim mengatakan Pyongyang telah memutus semua jalur kereta api dan jalan raya dengan Seoul sebagai penolakan tegas terhadap gagasan reunifikasi Korea.
“Langkah ini merupakan peringatan terakhir bahwa jika kedaulatan kami dilanggar oleh Korea Selatan, kekuatan militer kami akan digunakan tanpa syarat atau keraguan,” ujarnya, menegaskan.
Sebelumnya Staf Umum Tentara Rakyat Korea (KPA) mengambil langkah-langkah untuk memutus jalur jalan dan rel kereta Korut yang menuju Korsel melalui bagian timur dan barat perbatasan selatan Korut, sebagai upaya pemisahan total wilayahnya dari Korsel.
Kemudian pada Kamis (17/10), Pyongyang membuat amandemen konstitusi bahwa Korsel sebagai negara musuh.
Kebijakan tersebut dikutuk keras oleh Seoul.
Negara ‘musuh’
Korea Utara pada Kamis (17/10), mengonfirmasi bahwa telah mengubah konstitusi untuk secara resmi menunjuk Korea Selatan sebagai negara yang “bermusuhan”, dengan alasan ancaman keamanan dan meningkatnya ketegangan antara kedua negara, menurut media yang dikelola pemerintah.
“Ini adalah tindakan yang tidak dapat dihindari dan sah yang diambil sesuai dengan persyaratan Konstitusi DPRK (Republik Demokratik Rakyat Korea), yang dengan jelas mendefinisikan ROK (Republik Korea) sebagai negara yang bermusuhan,” Kantor Berita Pusat Korea (KCNA) melaporkan.
KCNA melaporkan bahwa tindakan tersebut dilakukan karena keadaan keamanan yang serius mengarah ke ambang perang yang tidak dapat diprediksi karena provokasi politik dan militer yang serius dari pasukan yang bermusuhan.
Pengumuman tersebut menandai pertama kalinya Korea Utara secara eksplisit menyebut Korea Selatan sebagai “negara yang bermusuhan” sejak Majelis Rakyat Tertinggi (SPA), badan legislatif Korea Utara, bertemu pekan lalu dan melakukan amendemen konstitusi.
Meski KCNA melaporkan perubahan konstitusional setelah pertemuan SPA, mereka menahan rincian spesifik hingga Kamis.
Pada Januari, pemimpin Korea Utara Kim Jong-un mengajukan usulan untuk mendefinisikan ulang status Korea Selatan, dengan menyatakan bahwa kedua negara tidak dapat menempuh jalan menuju reunifikasi nasional bersama-sama.
Dalam pidatonya di SPA, Kim menyerukan amendemen, dengan menggambarkan Korea Selatan sebagai “musuh utama yang tidak berubah-ubah.”
Keputusan untuk mengubah konstitusi dan menyatakan Korea Selatan sebagai negara yang bermusuhan itu menyusul serangkaian eskalasi.
Tahun lalu, Korea Utara membatalkan perjanjian antar-Korea tahun 2018 yang telah menetapkan zona penyangga di sepanjang perbatasan darat dan laut serta zona larangan terbang di atas zona demiliterisasi.
Penangguhan perjanjian ini memulihkan aktivitas militer skala penuh di dekat perbatasan antar-Korea.
Menanggapi meningkatnya ketegangan, Korea Utara melaporkan pada Rabu (16/10) bahwa lebih dari 1,4 juta anak muda dan pelajar telah mengajukan diri untuk bergabung atau bergabung kembali ke militer.
Pengumuman tersebut menyusul tuduhan Pyongyang bahwa pesawat tanpa awak Korea Selatan memasuki wilayah udara Korea Utara di dekat ibu kota, sebuah klaim yang belum dikonfirmasi oleh Korea Selatan.
Hal itu semakin menambah ketegangan, Korea Utara juga mengumumkan pada Kamis bahwa mereka telah memutus hubungan darat dengan Korea Selatan, menutup jalur jalan raya dan rel kereta api di bagian timur dan barat perbatasan.
Sumber: Sputnik-Oana-Antara