Oleh: Saiful Huda Ems*
Ibu Kota Nusantara (IKN) belum diresmikan, namun sudah dijadikan oleh Pemerintahan Joko Widodo sebagai tempat terselenggaranya upacara resmi peringatan Hari Kemerdekaan ke-79 Republik Indonesia.
Dari sisi hukum tata negara hal ini sangat tidak tepat karena kemerdekaan Indonesia dicapai melalui perjuangan hebat, penuh keringat, darah, dan air mata. Tentu melalui perjuangan hukum yang sangat meletihkan di forum-forum internasional, hingga Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sah menurut hukum dan diakui oleh dunia internasional.
Kemerdekaan Indonesia bukanlah hasil pemberian dari negara-negara kompeni, penjajah. Bukan pula pemberian dari para habib yang belakangan semakin gigih mengklaim berjasa banyak untuk kemerdekaan Indonesia. Itu mereka lakukan dengan pemberian nama-nama palsu yang diselip di jajaran nama para pahlawan atau pejuang negara Indonesia. Misalnya, Pangeran Diponegoro bin Yahya, dan seterusnya.
Menggelar upacara resmi kenegaraan memperingati HUT RI di IKN yang belum diresmikan, bukan hanya mendegradasi legalitas kemerdekaan Indonesia yang sah –yang memenuhi aspek yurudis formal hukum internasional.
Tindakan pemerintah tersebut sama halnya dengan penghinaan terhadap marwah dan hasil perjuangan dari para pahlawan kemerdekaan Indonesia itu sendiri.
Ini diperparah lagi dengan kenyataan pemberian izin pengelolaan atas tanah dan bangunan oleh rezim Jokowi di IKN terhadap para investor. Baik yang lokal maupun asing diberi selama 190 tahun ke depan.
Belum lagi penggusuran terhadap penduduk lokal, serta penggunaan pakain adat resmi Raja dan Permaisuri Kutai oleh Presiden Jokowi dan istrinya, namun di sisi lain Sultan Kutai Negara sendiri tak hadir karena tak diundang.
Ini semua seakan menjadi pelengkap dari sebuah penghinaan terhadap legalitas negara dan para pahlawan kemerdekaan Indonesia.
*Lawyer dan pemerhati politik.