Jakarta – Hanya sehari berselang setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan yang membuat Pilkada 2024 lebih demokratis, hari ini Rabu (21/8/2024) DPR dan pemerintah bersepakat mengabaikan dan mereduksi putusan MK tersebut.
Skenario pembangkangan digarap dalam rapat di Badan Legislatif (Baleg) DPR dengan modus revisi UU Pilkada sebagai payung aksinya. Dari pihak pemerintah hadir Menkumham Supratman Andi Agtas dan Mendagri Tito Karnavian.
Rapat Baleg diinisiasi oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad melalui undangan DPR RI No B/9825/ LG01.02/08/2024 tanggal 20 Agustus 2024. Sebagaimana diketahui, Dasco juga adalah Ketua Harian Partai Gerindra.
Undangan dibuat tanggal 20 Agustus 2024, yang isinya jadwal rapat pada 21 Agustus 2024. Ini menunjukkan urgensi rapat tersebut. Padahal revisi UU Pilkada dimaksud sudah lama mengendap dan tidak dibahas DPR.
Rapat Baleg DPR menyorot langsung dua hal, yakni syarat umur calon gubernur/wakil gubernur dan persyaratan pencalonan oleh partai.
MK sebelumnya memutuskan bahwa syarat umur calon 30 tahun dalam UU Pilkada didasarkan pada saat ditetapkan sebagai calon oleh KPU sudah tepat.
Namun syarat dalam UU tersebut oleh Mahkamah Agung (MA) sudah diubah beberapa waktu lalu, dengan ketentuan bahwa umur 30 tahun didasarkan pada saat pelantikan. Putusan MA ini dikecam banyak kalangan karena diduga untuk memberi jalan bagi anak bungsu Jokowi Kaesang Pangarep agar bisa menjadi calon gubernur atau wakil gubernur dalam Pilkada November 2024.
Sebab pada saat penetapan pasangan calon oleh KPU pada 22 September nanti, umur Kaesang belum mencapai 30 tahun. Kaesang lahir pada 25 Desember 1994. Pada saat pilkada digelar 27 November 2024, dia belum 30 tahun.
Mayoritas peserta rapat Baleg hari ini menetapkan putusan MA yang dipakai. Sedangkan keberatan dari Fraksi PDIP diabaikan.
Begitu juga dalam membahas tentang persyaratan partai untuk mencalonkan kandidat di pilkada, mayoritas anggota Baleg dan perwakilan pemerintah sepakat akan menjadikan putusan MK sebagai ‘pelengkap’.
Baleg akan tetap mempertahankan persyaratan minimal 20 persen kursi DPRD, atau 25 persen dari DPT. Padahal pasal ketentuan ini sudah diputuskan sebagai tidak konstitusional oleh MK dan MK juga membuat rumusan baru yang memberi peluang partai yang tidak punya kursi di DPRD bisa mencalonkan kandidatnya.
Dikecam
Gerak cepat DPR dan pemerintah untuk merevisi UU Pilkada setelah munculnya putusan MK, mendapat kecaman dari kalangan pakar dan akademisi yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS).
Koalisi sipil ini menilai pembahasan revisi UU Pilkada itu dilakukan untuk mempertahankan kekuatan Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM Plus) di Pilkada 2024. Sementara kedua putusan MK membuat peluang hadirnya kontestan alternatif dalam Pilkada 2024 menjadi mungkin. Ini dianggap KIM Plus sebagai ancaman bagi mereka.
CALS mengancam akan melakukan pembangkangan sipil dan memboikot pilkada jika RUU itu tetap dibahas serta pemerintah dan DPR membangkang dan mengabaikan keputusan MK.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai revisi UU Pilkada yang dilakukan DPR dan pemerintah yang mengubah atau mengabaikan putusan MK, jelas merupakan pembangkangan terhadap konstitusi.
Pembangkangan tersebut, menurut Bivitri sebab konstitusi telah menetapkan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, serta wajib ditaati oleh para pihak. MK pun sudah menetapkan bahwa produk hukum yang mengingkari putusan MK dianggap tidak konstitusional.
Unjuk rasa
Bereaksi terhadap kesepakatan pemerintah dan DPR untuk merevisi UU Pilkada tersebut, Partai Buruh besok akan menggelar aksi protes di DPR. Para buruh akan unjuk rasa menuntut supaya DPR dan pemerintah menaati putusan MK. Aksi serupa juga akan digelar di KPU pada Jumat, 23 Agustus 2024.
Sedangkan Juru Bicara PDIP Chico Hakim mendesak seluruh pihak untuk mematuhi putusan MK tanpa mempertanyakan atau mencoba untuk mengoreksi keputusan tersebut. Ia menyebut pentingnya kepatuhan terhadap konstitusi.
Chico mengingatkan, posisi MK adalah untuk mengoreksi undang-undang yang dihasilkan oleh DPR. Oleh karena itu, akan menjadi aneh jika putusan MK kemudian dikoreksi kembali oleh DPR dan pemerintah.
Sumber: BDS Alliance