Luar biasa cara Hasto Kristiyanto yang juga Sekjen PDIP menjelaskan soal problematika politik kekuasaan di era kepemimpinan Jokowi. Banyak rakyat yang terjebak oleh gaya politik Jokowi yang membungkus kebohongan dengan berbagai kebijakan populisnya.
Oleh: Saiful Huda Ems*
Menarik sekali jika kita membaca cakrawala pemikiran seorang Hasto Kristiyanto yang meraih gelar doktor keduanya dari Universitas Indonesia. Doktor pertamanya di bidang Geo Politik diraihnya dari Universitas Pertahanan Indonesia.
Dalam salah satu topik bahasan disertasi doktoralnya, Hasto Kristiyanto di Universitas Indonesia, Jumat (18/10/2024), disebutkan sebagai berikut:
Bahwa pada masa Presiden Joko Widodo, iklim feodalisme dibangun melalui strategi kebudayaan untuk memperkuat makna kekuasaan dengan simbol-simbol budaya.
Penampilan Presiden Jokowi dengan menggunakan simbolisasi raja melalui atribusi pakaian daerah dan perhelatan pesta pernikahan Kaesang Pangarep di Istana Mangkunegaran, membangun persepsi bahwa presiden juga sosok raja.
Ketika kultur ini berhasil dibangun maka aura feodalisme menyelimuti kekuasaan presiden. Hal inilah yang menjadi alasan rasionalitas kritis elite politik terbungkam.
Dalam situasi ini, Presiden Jokowi menggunakan otoritas kekuasaannya untuk membangun konsensus dengan para ketua umum partai politik pendukung dalam posisi yang tidak setara, sebagaimana dijelaskan oleh Ranciere.
Para ketua umum partai politik berperan sebagai ‘pembantu’ presiden karena posisinya sebagai menteri. Dan kemudian dimasukkan dalam suatu elite kerja sama besar untuk mengikuti kemauan penguasa.
Luar biasa cara Hasto Kristiyanto yang juga Sekjen PDIP menjelaskan soal problematika politik kekuasaan di era kepemimpinan Jokowi. Banyak rakyat yang terjebak oleh gaya politik Jokowi yang membungkus kebohongan dengan berbagai kebijakan populisnya.
Orang-orang seperti terhipnotis oleh gaya politik Jokowi seperti itu, hingga tanpa sadar Indonesia sebenarnya telah dikembalikannya seperti pada zaman kerajaan yang feodalistik, di mana pemimpinnya telah menjelma menjadi pribadi yang otoriter populis.
Otoriter populis yang mengabaikan check and balances dan membangun legitimasi atas nama rakyat, namun menginjak-injak asas fairness, pembatasan kebebasan sipil, dan nilai-nilai pembangunan yang adil, sebagaimana pandangan Prof Norris dan Inglehart (2019) yang dijelaskan oleh Mas Hasto Kristiyanto dalam rangkuman disertasinya.
Selamat mengikuti Sidang Disertasi Doktoral kedua di Universitas Indonesia untuk Mas Hasto Kristiyanto, yang juga merupakan sosok intelektual politisi Indonesia.
Semoga lulus summa cum laude dan ilmunya semakin mencakrawala serta bermanfaat bagi Bangsa dan Negara Indonesia yang telah lama tak mendapatkan pencerahan dari presiden plonga-plongo.
*Lawyer dan Analis Politik.