Awas Ketergantungan Bansos: Solusi Adhoc yang Menjadi Ancaman Struktural

Achmad Nur Hidayat

Share

Oleh: Achmad Nur Hidayat
(Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi situasi di mana bantuan sosial (bansos) menjadi andalan jutaan masyarakat untuk bertahan hidup.

Pandemi Covid-19 yang melumpuhkan perekonomian global memperbesar peran bansos sebagai alat penyelamat darurat. Namun, ketika krisis perlahan berlalu, ketergantungan ini tampak sulit dilepaskan.

Hal ini memunculkan pertanyaan besar: apakah bansos seharusnya tetap menjadi solusi utama ataukah pemerintah perlu mengalihkan fokusnya pada pemberantasan kemiskinan struktural?

Bansos, pada dasarnya, dirancang sebagai respons cepat terhadap situasi darurat, bukan sebagai strategi jangka panjang.

Sayangnya, dalam praktiknya, bansos mulai dipandang sebagai instrumen permanen oleh masyarakat dan pemerintah.

Ketergantungan ini mengindikasikan bahwa bansos telah melenceng dari tujuannya yang bersifat adhoc, sementara persoalan kemiskinan struktural terus menjadi momok yang belum terpecahkan.

Mengapa Ketergantungan Bansos Terjadi?

Ketergantungan masyarakat pada bansos bukanlah fenomena yang muncul secara tiba-tiba. Faktor utama yang mendorong hal ini adalah kemiskinan struktural yang belum teratasi.

Banyak keluarga di Indonesia terjebak dalam siklus kemiskinan yang membuat mereka tidak memiliki akses terhadap pendidikan, pekerjaan layak, atau layanan kesehatan yang memadai.

Ketika bansos hadir, ia menjadi penyambung hidup yang menggantikan peran mekanisme perlindungan sosial yang lebih berkelanjutan.

Selain itu, pandemi Covid-19 memperburuk situasi dengan memaksa jutaan pekerja informal kehilangan mata pencaharian. Pemerintah, dengan alasan yang tepat, menggencarkan bansos sebagai langkah penyelamatan darurat.

Namun, tanpa strategi transisi yang jelas, bansos beralih dari solusi sementara menjadi sumber pendapatan utama bagi sebagian masyarakat. Hal ini diperparah dengan lemahnya program pemberdayaan yang seharusnya mendampingi bansos untuk mendorong kemandirian.

Baca Juga  Tak Penting bagi Rakyat soal Rukun atau Tidaknya Prabowo-Jokowi

Bahaya Ketergantungan Bansos yang Berkepanjangan

Ketergantungan bansos memiliki dampak yang jauh lebih besar dari pada sekadar beban fiskal.

Secara sosial, masyarakat yang terbiasa dengan bansos cenderung kehilangan motivasi untuk mandiri.

Ketergantungan ini mengikis semangat inovasi dan usaha, karena bansos dianggap sebagai solusi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Lebih jauh, ketergantungan ini membahayakan keberlanjutan fiskal negara.

 

Anggaran pemerintah untuk bansos terus meningkat, sementara dampaknya terhadap pengurangan kemiskinan seringkali tidak signifikan.

Bansos menjadi semacam “plester” sementara untuk luka struktural yang membutuhkan penanganan lebih mendalam.

Di sisi lain, ketergantungan bansos juga menciptakan risiko sosial.

Jika suatu saat pemerintah terpaksa menghentikan atau mengurangi bantuan, keresahan masyarakat bisa meningkat.

Demonstrasi dan ketidakstabilan sosial adalah konsekuensi yang tidak bisa diabaikan.

Bansos dan Daya Beli: Sebuah Hubungan Erat

Salah satu faktor yang memperkuat ketergantungan bansos adalah menurunnya daya beli masyarakat.

Data menunjukkan bahwa kelas menengah bawah mengalami penurunan daya beli akibat tekanan ekonomi yang terus meningkat, seperti inflasi, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan.

Dalam kondisi ini, bansos menjadi andalan untuk menutupi kebutuhan pokok yang tidak mampu dipenuhi dengan pendapatan mereka.

Namun, ketergantungan ini adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, bansos membantu masyarakat bertahan dalam jangka pendek.

Di sisi lain, ia melemahkan fondasi ekonomi dengan membuat masyarakat terlalu bergantung pada negara, tanpa menciptakan mekanisme pemberdayaan yang mengembalikan daya beli mereka.

Baca Juga  Pemberantasan Rokok Ilegal Sia-Sia, Perlu Gebrakan Baru

Menggantikan Subsidi dengan BLT: Solusi atau Tambal Sulam?

Pemerintah saat ini berencana mengalihkan subsidi ke dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Meskipun langkah ini lebih terarah, ia tetap menjadi solusi sementara yang tidak menyentuh akar persoalan kemiskinan struktural. BLT, seperti halnya bansos, hanya memberikan bantuan tunai tanpa menciptakan instrumen yang mendorong kemandirian ekonomi.

Di tengah ketergantungan masyarakat pada bansos, menggantinya dengan BLT tanpa program pemberdayaan adalah langkah yang kurang bijak.

Solusi ini hanya akan memindahkan ketergantungan dari satu bentuk bantuan ke bentuk lainnya. Lebih buruk lagi, BLT berisiko menjadi alat populisme yang digunakan untuk keuntungan politik jangka pendek.

Bansos Bukan Jawaban Struktural untuk Kemiskinan

Kemiskinan struktural membutuhkan solusi yang jauh lebih kompleks daripada sekadar distribusi bantuan.

Bansos, pada esensinya, tidak dirancang untuk mengatasi akar masalah seperti ketimpangan akses pendidikan, pengangguran, atau rendahnya produktivitas. Ia hanya berfungsi sebagai “pengaman” untuk mencegah masyarakat jatuh lebih dalam ke jurang kemiskinan.

Oleh karena itu, pemerintah perlu mengembalikan bansos ke perannya yang asli, yaitu sebagai respons darurat.

Dalam jangka panjang, anggaran yang digunakan untuk bansos sebaiknya dialihkan ke program-program pemberdayaan, seperti pelatihan kerja, investasi pendidikan, dan pengembangan infrastruktur yang membuka lapangan kerja baru.

Skema Alternatif untuk Mengurangi Ketergantungan Bansos

Jika bansos hanya bersifat adhoc, apa yang bisa menggantikan perannya dalam memberantas kemiskinan? Berikut adalah beberapa skema yang lebih berkelanjutan:

Baca Juga  Presiden Garansi Tak Ada Bansos untuk Korban Judi Online

Cash-for-work programs: Program ini membayar masyarakat untuk bekerja dalam proyek infrastruktur kecil, seperti perbaikan jalan desa atau pembangunan irigasi. Selain memberikan penghasilan, program ini juga menciptakan aset produktif untuk jangka panjang.

Pendidikan dan pelatihan keterampilan: Pemerintah harus berinvestasi pada pendidikan dan pelatihan kerja yang relevan dengan kebutuhan pasar. Dengan keterampilan yang lebih baik, masyarakat memiliki peluang lebih besar untuk keluar dari kemiskinan.

Akses ke modal usaha: Memberikan pinjaman mikro dengan bunga rendah atau program hibah usaha dapat mendorong masyarakat memulai bisnis kecil.

Reformasi agraria: Memberikan akses masyarakat miskin terhadap lahan produktif adalah langkah penting untuk mengurangi ketimpangan dan menciptakan kemandirian ekonomi.

Perbaikan sistem rantai pasok pangan: Dengan memastikan harga pangan tetap stabil dan terjangkau, pemerintah dapat mengurangi tekanan ekonomi pada masyarakat tanpa harus terus bergantung pada bansos.

Bansos, meskipun penting dalam kondisi darurat, bukanlah solusi permanen untuk kemiskinan.

Ketergantungan yang berkepanjangan hanya akan memperburuk masalah sosial dan fiskal. Pemerintah perlu berani menggeser paradigma dari sekadar memberikan bantuan menjadi menciptakan peluang.

Memutus ketergantungan pada bansos bukanlah langkah yang mudah. Namun, dengan komitmen untuk berinvestasi pada pemberdayaan masyarakat, Indonesia dapat menciptakan perubahan nyata.

Program yang berfokus pada pendidikan, pekerjaan, dan akses terhadap sumber daya ekonomi akan menjadi fondasi untuk mengangkat jutaan masyarakat dari kemiskinan struktural dan memastikan mereka tidak lagi bergantung pada solusi sementara seperti bansos.

Share

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *