Orkestrasi Pembangunan Lewat Instrumen Fiskal: Gaya Koboi yang Bikin Kepala Daerah Lompat-Lompat

Share

Oleh: Andre Vincent Wenas MM MBA*

Bayangkan seorang koboi jago tembak berpangkat sherif yang sedang mengerjai geng pemabok-pemalas dengan menembaki tanah tempat mereka berpijak. Para pemabok-pemalas itu tidak bisa santai-santai, terpaksalah mereka melompat-lompat, sambil diiringi musik petikan gitar-banjo yang cepat dan dinamis. Seru.

Semenjak pistol sherif-koboi ditembakan ke tanah, artinya sejak anggaran transfer ke daerah (TKD) dipotong, mulailah para pemabuk-pemalas itu melompat-lompat. Jangan males-malesan lagi, pesan sherif-koboi enteng. Pesan serupa pernah dikirim juga ke manajemen BUMN (Pertamina) soal kilang, jangan males-malesan.

Memang tidak semua kepala daerah maupun direksi BUMN itu males-malesan, ada beberapa yang rajin. Tapi yang dimaksudkan Menkeu Purbaya tentu sebagian besar yang males-malesan, malah ikut-ikutan korupsi. Hitung sendiri saja berapa kepala daerah maupun pejabat BUMN yang sudah pakai rompi oranye (KPK) maupun rompi pink (Kejaksaan).

Sekarang kita tengok sebentar soal anggaran transfer ke daerah, mulai tahun 2024 lalu ke tahun berjalan sekarang (2025) dan desain TKD di ABPN tahun depan (2026).

swa
Andre Vincent Wenas

TKD tahun 2024, pemerintah pusat menyalurkan anggaran dana transfer ke daerah sebesar Rp 863,5 triliun. TKD ini dimaksudkan untuk mendukung pelayanan publik dan ekonomi daerah, yang meliputi Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Desa.

Harapannya sinergi fiskal meningkat, sekaligus memperkuat kualitas pengelolaan dana di daerah. Pemerintah daerah bersama pemerintah pusat bersinergi mendukung program prioritas nasional seperti mengatasi kemiskinan, stunting, inflasi, dan investasi.

Dana Transfer Ke Daerah mengandung komponen: pertama, Dana Alokasi Umum (DAU) yang merupakan dana ‘block grant’ artinya tidak ditentukan penggunaannya dan ‘specific grant’, ini ditentukan penggunaannya dengan pagu terbesar. Diikuti Dana Alokasi Khusus (DAK) yang terdiri dari DAK Fisik dan DAK Nonfisik.

Lalu Dana Bagi Hasil (DBH), hasil apa? Hasil dari penerimaan pajak dan kekayaan alam yang disalurkan ke daerah. Kemudian Dana Desa yang disalurkan untuk mendukung pemerintah desa dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan pembangunan desa.

Baca Juga  Terus Disumpal Uang Bau, Kota Bekasi Jadi Tempat Sampah Besar Warga Jakarta

Kebijakan dan tujuan TKD adalah untuk transformasi ekonomi inklusif dan berkelanjutan. Mendukung peningkatan kualitas layanan publik dan akselerasi pertumbuhan ekonomi di daerah. Memperkuat sinergi kebijakan fiskal pusat dan daerah, serta mengharmonisasi belanja pusat dan daerah.

Dana Transfer Ke Daerah (TKD) dialokasikan untuk mendukung program prioritas nasional, seperti penanggulangan stunting, kemiskinan, dan inflasi, serta mendorong investasi.

Adapun pengawasan akuntabilitas TKD dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Institusi inilah yang melakukan pengawasan akuntabilitas TKD dengan evaluasi dan uji petik di berbagai daerah. Disamping itu Kementerian Keuangan menerbitkan pedoman pelaksanaan penyaluran TKD pada akhir tahun anggaran untuk menjaga kelancaran dan kepatuhan prosedur.

Tapi…

Fakta memperlihatkan adanya Sisa Anggaran Lebih (SAL) atau sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA) APBN 2024 mencapai Rp 457,5 triliun. Angka ini berasal dari total SAL sebesar Rp 459,5 triliun yang kemudian diperhitungkan dengan Saldo Anggaran Lebih dan sisa lebih pembiayaan anggaran pada tahun 2024.

Memang ada juga fungsi dan kegunaan SAL dimana sisa anggaran ini berfungsi sebagai penyangga fiskal, terutama dalam masa transisi pemerintahan dan menghadapi berbagai risiko global. Tapi mestinya jumlah atau besarannya tidak sampai Rp 457,5 trilun.

TKD tahun berjalan (2025): alokasi transfer ke daerah (TKD) tahun 2025 ditetapkan sebesar Rp 848,52 triliun, turun dari TKD tahun 2024. Komponen terbesar adalah dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

Angka ini sempat mengalami pemangkasan sekitar Rp 50,6 triliun pada awal tahun, namun kemudian terjadi penyesuaian dan pembahasan lebih lanjut dengan para kepala daerah yang menyampaikan keberatan karena pemotongan ini dapat menghambat pembangunan dan layanan publik.

Alokasi dan Komponen TKD 2025: total alokasi Rp 848,52 triliun, terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU) Rp 431 triliun dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Rp 166,7 triliun. Kemudian Dana Bagi Hasil (DBH) Rp 159,9 triliun, lalu Dana Desa Rp 69 triliun.

Baca Juga  Pilkada Jabar: Dedi Mulyadi Makin Tak Terbendung, Elektabilitasnya Tembus 71 Persen

Dana Otonomi Khusus dan Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) Rp 17 triliun. Ada lagi Dana Keistimewaan (DI Yogyakarta) Rp 1 triliun dan Dana Insentif Fiskal Rp 4 triliun.

Awalnya ada pemangkasan anggaran TKD yang cukup signifikan, sekitar Rp 50,6 triliun, dengan alasan efisiensi belanja. Kebijakan pemangkasan (atau sebutlah realokasi anggaran) oleh pemerintah pusat yang mengundang reaksi dari pihak pemerintah daerah.

Pemangkasan (atau realokasi anggaran) ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan para kepala daerah (gubernur, walikota dan bupati) karena dikhawatirkan akan menghambat program prioritas, pembangunan infrastruktur, dan pelayanan publik.

Menanggapi masukan dari para gubernur, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pada 7 Oktober 2025 mengadakan pertemuan untuk membahas berbagai isu aktual mengenai TKD dan sinergi fiskal pusat-daerah. Pemerintah berjanji akan menampung masukan tersebut untuk dievaluasi dan disempurnakan kebijakan ke depannya.

TKD dalam desain APBN 2026. Transfer ke Daerah untuk tahun 2026 nanti rencananya diturunkan jadi Rp 693 triliun. Alasan Transfer ke Daerah 2026 dipangkas karena dipandang masih banyak penyelewengan dalam penggunaan anggaran oleh pemerintah daerah.

Kata Menkeu Purbaya, “Tapi alasan motongnya itu utamanya dulu karena banyak penyelewengan. Artinya, nggak semua uang yang dipakai, dipakai dengan betul. Jadi itu yang membuat pusat atau pemimpin-pemimpin itu agak gerah, ingin mengoptimalkan.” (Diungkapkannya saat kunjungan kerja di Surabaya, Kamis, 2 Oktober 2025).

Tapi coba kita lihat secara total. Total dana untuk program daerah justru naik menjadi Rp 1.300 triliun, meski alokasi TKD turun menjadi Rp 693 triliun (ini sudah naik Rp 43 triliun dari Rp 650 triliun). Meskipun dana TKD terlihat turun, alokasi anggaran untuk program daerah sebenarnya meningkat secara total.

Dana yang dialokasikan untuk berbagai program daerah pada 2026 mencapai Rp 1.300 triliun atau naik dari Rp 919,9 triliun pada tahun sebelumnya.

Dan catat ini, TKD bisa ditambah lagi jika penyerapan anggaran daerah pada kuartal I dan II 2026 ternyata berdampak positif terhadap ekonomi lokal. Nah! Dor… dor… dor… Ayo jangan males-malesan dan mulai sekarang kerja… kerja… kerja…

Baca Juga  Perpres APBN 2025: Konsentrasi Kekuasaan, Kenaikan PPN, dan Privilege Orang Kaya

Tanggapan yang datang dari pemerintah daerah adalah soal anggaran gaji dan tunjangan pegawai daerah. Misalnya Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Hukum dan HAM Apkasi, Mochamad Nur Arifin yang bilang pemotongan transfer dana daerah ini paling banyak menyasar pada tunjangan pegawai.

Dia bilang, “Beberapa Kabupaten malah kurang untuk menggaji khususnya Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) yang kebanyakan terdiri dari guru, tenaga kesehatan, tenaga kebersihan dan tenaga paruh waktu lainnya.” (Kontan.co.id, Rabu, 8 Oktober 2025)

Arifin yang juga menjabat sebagai Bupati Trenggalek ini mengungkapkan, dampak lainnya dari pemangkasan transfer dana ke daerah yaitu pada infrastruktur daerah, khususnya bagi daerah rawan bencana, di mana ia menilai proses pemulihannya bakal cukup berat.

Katanya, “Betul ada Rp 1.300 triliun APBN yang manfaatnya diproyeksikan langsung ke daerah seperti contoh IJD (Inpres Jalan Daerah), akan tetapi jalan yang bisa dibangun hanya yang masuk spesifikasi Kementerian Pekerjaan Umum (PU), bukan jalan lingkungan yang masyarakat sangat butuhkan juga.”

Bagaimana pun juga, fakta bahwa banyak dana daerah yang sudah terserap pun ternyata belum optimal dalam penggunaannya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal membuat sherif-koboi mencabut pistolnya lagi. Ia sedang mengorkestrasi pembangunan lewat instrumen fiskal yang dikuasainya. Dan dengan gaya koboinya telah bikin kepala daerah lompat-lompat (istilah beberapa media: menggeruduk Kemenkeu).

Akhirnya dipicu “ancaman” pemotongan anggaran ini mengingatkan kita soal mendasar dari pengelolaan anggaran publik, yaitu: transparansi. Ya transparasi anggaran di tingkat daerah (provinsi dan kabupaten atau kotamadya). Transparasi men-syaratkan kejujuran dan kebersihan tata Kelola pemerintahan daerah.

Coba dipelajari kembali kasus transparansi anggaran pemda Jakarta era Jokowi-Ahok yang bening versus jaman Anies yang gelap gulita. Dari situ kita bisa belajar banyak soal pengelolaan anggaran daerah yang bersih.

 

*Pemerhati Ekonomi dan Politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.

Share

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *