Goldilocks Condition: Inflasi Indonesia Ada di Kondisi Ideal 2,31 Persen, Tetap Waspada Overvaluasi Pasar

Ilustrasi – Earthhow

Share

Oleh: Andre Vincent Wenas MM MBA

Kali ini kita ngobrol soal inflasi yang 2,31 persen. Ini disampaikan tim Kementerian Keuangan RI dalam konperensi pers soal APBN 2026 pada Senin, 22 September 2025. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan inflasi kita berada dalam Goldilocks Condition.

Apa itu Goldilocks Condition?

Artinya kondisi inflasi kita tidaklah kepanasan dan tidak juga terlalu dingin. Pas, atau istilahnya “just right”.

Diinspirasi dari fabel atau dongeng Inggris “Goldilocks and the three bears”, yang berkisah tentang gadis kecil bernama Goldilocks yang bermain-main di hutan lalu nyasar. Ia masuk ke rumah kosong milik keluarga beruang yang sedang jalan-jalan di hutan sambil menunggu bubur yang dimasak ibu beruang menjadi tidak terlalu panas untuk disantap.

Di atas meja terhidang tiga mangkuk bubur. Lantaran kelaparan lalu Goldilocks mencoba bubur di mangkuk pertama, tapi masih terlalu panas. Bubur di mangkuk kedua sudah terlalu dingin. Akhirnya dia mencicipi bubur di mangkuk ketiga, nah pas, tidak terlalu panas dan juga tidak terlalu dingin, pokoknya ideal “just right”.

Cerita selanjutnya bisa Anda cari sendiri. Fragmen yang mau ditekankan adalah “just right”, tidak terlalu panas dan tidak pula terlalu dingin, sekali lagi “just right” alias pas.

Istilah ini jadi popular gegara Alan Greenspan, Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat yang menjabat dari 11 Agustus 1987 sampai 31 Januari 2006. Jadi selama 19 tahun, nyaris dua dekade ia mengendalikan kebijakan moneter Amerika Serikat. Ia gubernur bank sentral yang paling disegani.

Baca Juga  Idealisme adalah Kemewahan yang Hanya Dimiliki Kaum Muda

Presiden AS boleh silih berganti dari Ronald Reagan kemudian George H.W. Bush lalu Bill Clinton dan akhirnya George W. Bush, tapi Alan Greenspan tetap menjadi figur sentral yang mengendalikan kebijakan moneter AS masa itu.

joko
Andre Vincent Wenas

Begitu berpengaruhnya bahkan kondisi kesehatan pribadinya pun jadi perhatian umum, ia bersin saja bisa mempengaruhi kondisi market, begitu kata para pialang, kala itu.

Kembali ke soal inflasi. Dari presentasi Menkeu Purbaya ada tiga poin yang ditekankan soal inflasi. Pertama, stabilitas harga pangan menjadi prioritas, inflasi volatile food terus dikendalikan melalui kebijakan intervensi harga dan penguatan peran Bulog, termasuk stabilisasi harga beras melalui SPHP.

Catatan: Beras SPHP adalah beras dari program pemerintah dengan akronim Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan, yang bertujuan menjaga ketersediaan dan keterjangkauan beras bagi masyarakat.

Program ini dilaksanakan oleh Perum Bulog dengan bekerja sama dengan Badan Pangan Nasional dan dijalankan melalui berbagai saluran distribusi untuk memastikan masyarakat bisa membeli beras berkualitas dengan harga stabil dan terjangkau.

Kedua, pemerintah akan berikan bantuan beras dan minyak goreng pada bulan Oktober – November 2025. Ketiga, ‘inflasi inti’ mencerminkan daya beli resilien, inflasi ‘administered price’ terjadi didukung kebijakan harga energi nasional untuk menjaga daya beli.

Pada dasarnya pemerintah mesti menjaga kondisi perut publik (soal pangan yang mendasar). Pemerintah tidak boleh lengah sedetik pun soal keterjangkauan dan ketersediaan pangan mendasar ini. Selain pangan, adalah soal energi yang perlu dijaga.

Era Presiden Joko Widodo dulu yang berduet dengan Mendagri Tito Karnavian, keduanya sangat ketat menjaga disiplin inflasi ini lewat TPID (Tim Pengendali Inflasi Daerah).

Baca Juga  Indonesia Salah Urus

Mendagri Tito terus berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten-kota untuk memantau pergerakan harga barang (khususnya pangan) di setiap daerah.

Disebut Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) adalah instrumen pemerintah yang tak jemu-jemunya memantau pergerakan harga di masing-masih daerah. Waktu itu Presiden Jokowi sangat rajin mengingatkan dan menginstruksikan jajaran pemda untuk melakukan pengendalian inflasi. Dibuat strategi jangka panjang dan jangka pendek.

Dalam jangka pendek, supaya pemda terbuka dan aktif dalam mengintegrasikan data stok (neraca pangan) di daerahnya masing-masing. Data-data ini penting diintegrasikan sehingga basis pengambilan keputusan itu betul-betul ada pegangannya, yaitu data yang akurat.

Koordinasi antar daerah secara intensif dilakukan sehingga diketahui daerah mana yang kelebihan dan daerah mana yang kekurangan. Setiap daerah bisa saling koordinasi, sehingga bisa segera disambungkan, jangan sampai ada ego daerah (sektoral), ini demi kepentingan nasional.

Stok dan harga bahan pangan terjaga. Cadangan pangan di daerah harus ada, kalau tidak ada maka dipasok dari pusat.

Pemerintah daerah dapat mengoptimalkan fiskal daerah dengan menggunakan APBD untuk intervensi pasar. Hal tersebut dimaksudkan agar angka inflasi daerah dapat terkendali, bahkan menurun secara bertahap kalau sudah dianggap terlalu tinggi tingkat inflasinya.

Sedangkan untuk strategi jangka panjang, penguatan sarana prasarana pertanian menjadi salah satu kunci pengendalian inflasi. Kita tahu bahwa setiap tahun permasalahan inflasi selalu ada pada komoditas bahan pangan yang relatif mirip-mirip saja.

Menurut Jokowi, setiap tahun problem di inflasi selalu mirip, yaitu cabai, selalu cabai rawit, selalu cabai merah, daging ayam, ya itu yang diselesaikan intinya. Kalau soal daging ayam muncul terus sebagai penyebab inflasi tinggi ya kita cari investor, lalu bikin peternakan di provinsi atau kabupaten. Untuk menyelesaikan akar masalah (root-cause) kita mesti menyoroti (zoom-in) telisik detail-nya.

Baca Juga  100 Hari Pertama Kabinet Prabowo-Gibran: Belajar dari Franklin Delano Roosevelt

Sekedar caveat (peringatan dini), belajar dari era Alan Greenspan yang dijuluki juga “Sang Maestro” karena waktu itu untuk waktu yang cukup panjang perekonomian AS menikmati kombinasi langka antara pertumbuhan lapangan kerja yang kuat, kenaikan upah dan inflasi yang rendah.

Tapi jangan lupa, bahwa kondisi Goldilocks pada dasarnya bersifat sementara karena sifat siklus ekonomi. Ekonomi Goldilocks di tahun 1990-an akhirnya berakhir dengan runtuhnya gelembung dot-com di awal tahun 2000-an. Masih ingat khan?

Setelah gelembung tersebut pecah, warisan Greenspan menjadi lebih kontroversial. Beberapa kritikus berpendapat bahwa keputusannya untuk mempertahankan suku bunga rendah terlalu lama mungkin telah berkontribusi pada overvaluasi pasar.

Banyak pengamat ekonomi mengklaim bahwa pemotongan suku bunga yang agresif sebagai respons terhadap resesi tahun 2001 memicu gelembung perumahan dan kredit di kemudian hari, yang menyebabkan krisis keuangan 2008 yang menghancurkan.

Kalau Menkeu percaya pada gerak siklikal perekonomian, mestinya ia dan timnya juga mampu untuk mengantisipasi kapan “inflection point”-nya. Kita harus maju terus, tapi dengan sesekali mengintip kaca spion, dari sejarah kita belajar banyak.

 

Jakarta, Selasa 23 September 2025

*Pemerhati Ekonomi dan Politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta

Share

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *