Pidato Presiden Prabowo Spektakuler, Namun Rentan Inkonsistensi

Achmad Nur Hidayat MPP

Share

Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP*

Pidato Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini tentang kondisi ekonomi dan kemiskinan Indonesia mengundang banyak perhatian. Pidato itu menyampaikan pesan yang spektakuler, filosofis, dan sarat dengan kritik terhadap kebijakan ekonomi selama ini.

Prabowo menyoroti beberapa isu penting, terutama terkait kemiskinan yang masih tinggi meskipun Indonesia sering dipuji sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di dunia.

Dalam kritiknya, Prabowo menekankan bahwa statistik makroekonomi seperti PDB atau peringkat dalam ekonomi global tidak boleh menjadi tolok ukur utama keberhasilan ekonomi sebuah negara.

Ia meminta agar bangsa ini tidak terlalu cepat berpuas diri dengan angka-angka, tetapi melihat gambaran yang lebih luas dan lebih mendalam tentang realitas yang dihadapi rakyat.

Pernyataan ini patut diapresiasi, karena menyentuh pada masalah mendasar dalam ekonomi Indonesia. Selama bertahun-tahun, Indonesia memang mencatat pertumbuhan ekonomi yang stabil, namun masalah ketimpangan dan kemiskinan tetap menjadi momok yang sulit diatasi.

Pidato Prabowo mengindikasikan bahwa ia memahami bahwa statistik agregat seperti PDB tidak bisa dijadikan ukuran tunggal untuk menilai kesejahteraan suatu negara. Angka pertumbuhan ekonomi yang positif tidak serta-merta mencerminkan bahwa kesejahteraan rakyat meningkat atau bahwa kemiskinan telah berhasil ditekan.

Masih banyak rakyat Indonesia yang terperangkap dalam kemiskinan, meskipun secara statistik, Indonesia berada di jajaran 20 besar ekonomi dunia.

Namun, di balik retorika yang spektakuler dan filosofis ini, terdapat satu ironi besar yang tidak bisa diabaikan.

Prabowo, meskipun memberikan kritik tajam terhadap kebijakan ekonomi yang dinilai tidak efektif dalam mengatasi kemiskinan, justru tidak menunjukkan sikap konsisten dalam langkah-langkah yang diambilnya.

Hal ini terlihat dari komposisi tim ekonomi dalam pemerintahannya, yang banyak diisi oleh tokoh-tokoh lama yang selama ini berpegang teguh pada mazhab ekonomi konvensional.

Baca Juga  Cagub Andhika Perkasa Semakin Perkasa di Jawa Tengah

Mazhab ini telah terbukti tidak mampu mengatasi masalah ketimpangan dan kemiskinan, bahkan cenderung memperlebar jurang antara yang kaya dan yang miskin.

Di sini letak kontradiksinya. Prabowo, yang dalam pidatonya mengkritik pendekatan ekonomi konvensional, justru menyertakan mereka yang selama ini menjadi arsitek dari kebijakan ekonomi tersebut ke dalam timnya.

Para teknokrat dan ekonom yang berperan dalam pemerintahan sebelumnya tetap diandalkan, meskipun mereka tidak berhasil membawa Indonesia ke arah pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif. Mereka adalah bagian dari sistem yang mempertahankan struktur ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan tanpa memperhatikan distribusi kesejahteraan.

Sistem ini telah lama menghasilkan ketimpangan yang tajam, di mana sebagian kecil masyarakat menikmati pertumbuhan ekonomi, sementara sebagian besar lainnya tertinggal jauh di belakang.

Lebih jauh, target Prabowo untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8% juga menimbulkan pertanyaan besar. Bagaimana mungkin ia berharap ekonomi Indonesia bisa tumbuh sebesar itu, sementara teknokrat yang ia pilih untuk memimpin tim ekonominya tidak pernah berhasil melampaui angka pertumbuhan 5% dalam satu dekade terakhir?

Target pertumbuhan 8% tersebut tampak ambisius, bahkan tidak realistis, mengingat komposisi tim ekonomi yang ia miliki saat ini. Jika Prabowo benar-benar ingin mencapai lompatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan, ia harus berani mengambil langkah-langkah yang lebih radikal, termasuk mengganti pendekatan ekonomi yang selama ini hanya berfokus pada statistik makroekonomi, tanpa memikirkan dampaknya terhadap kesejahteraan rakyat.

Salah satu masalah terbesar dari pendekatan ekonomi konvensional yang dianut oleh banyak teknokrat di Indonesia adalah fokus yang terlalu besar pada pertumbuhan PDB.

PDB memang merupakan indikator yang penting, tetapi bukan satu-satunya ukuran yang harus diperhatikan. Banyak negara dengan PDB tinggi yang tetap mengalami ketimpangan ekonomi yang parah.

Baca Juga  Strategi Pembiayaan Indonesia di Tengah Dampak Kemenangan Trump

PDB tidak mencerminkan distribusi pendapatan, akses terhadap pendidikan dan kesehatan, atau tingkat pengangguran. Oleh karena itu, mengukur keberhasilan ekonomi hanya dari angka PDB sangatlah menyesatkan. Prabowo tampaknya memahami hal ini, tetapi tindakannya tidak mencerminkan kesadaran tersebut.

Jika kita melihat lebih jauh, para teknokrat yang terlibat dalam pemerintahan Prabowo sebagian besar adalah tokoh-tokoh yang selama ini berpegang pada paradigma ekonomi yang menekankan pertumbuhan, dengan asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi akan otomatis menghasilkan kesejahteraan.

Namun, kenyataannya tidak demikian. Pertumbuhan ekonomi yang tidak inklusif hanya akan memperlebar jurang ketimpangan. Hal ini sudah terbukti di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, jika Prabowo ingin membawa perubahan yang nyata, ia harus melakukan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi sebesar 8% yang ditargetkan oleh Prabowo memang ambisius, tetapi tanpa adanya perubahan paradigma, target ini sulit dicapai.

Selama ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar di angka 5%, dan teknokrat yang terlibat dalam pemerintahan Prabowo tidak pernah berhasil melampaui angka tersebut. Bagaimana mungkin mereka yang tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 5% di masa lalu tiba-tiba bisa mencapai 8% di masa depan? Ini adalah pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh Prabowo dan tim ekonominya.

Prabowo harus menyadari bahwa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, diperlukan reformasi struktural yang menyeluruh, tidak hanya dalam hal kebijakan ekonomi, tetapi juga dalam pendekatan dan filosofi ekonomi yang dipegang oleh para pembuat kebijakan.

Ia harus berani melepaskan diri dari paradigma lama yang hanya berfokus pada statistik makroekonomi dan mulai memikirkan cara-cara untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan benar-benar dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.

Baca Juga  Sikap Negarawan Jelas Beda dengan Politisi Baperan

Selain itu, Prabowo juga harus mempertimbangkan bagaimana teknologi, inovasi, dan transformasi digital dapat menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi.

Di era globalisasi dan digitalisasi saat ini, pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya bisa dicapai jika suatu negara mampu beradaptasi dengan perubahan teknologi yang cepat. Hal ini memerlukan kebijakan yang mendukung inovasi, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur teknologi.

Namun, jika Prabowo tetap bergantung pada teknokrat lama yang lebih berfokus pada sektor-sektor tradisional seperti manufaktur dan agrikultur, Indonesia akan tertinggal dalam persaingan global.

Tentu saja, ini bukan berarti sektor tradisional harus diabaikan. Namun, yang diperlukan adalah integrasi antara sektor tradisional dan teknologi baru untuk menciptakan pertumbuhan yang berkelanjutan.

Misalnya, sektor pertanian dapat ditingkatkan melalui penerapan teknologi pertanian modern, yang dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi kemiskinan di pedesaan. Begitu pula dengan sektor manufaktur, yang dapat dioptimalkan melalui otomatisasi dan penggunaan teknologi canggih.

Namun, perubahan-perubahan ini hanya akan terjadi jika Prabowo berani mengambil sikap tegas dan konsisten terhadap visinya. Jika ia terus bergantung pada teknokrat lama yang memegang teguh paradigma ekonomi konvensional, maka pidato spektakulernya hanya akan menjadi retorika tanpa tindakan nyata.

Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang berani dan progresif, yang tidak hanya berani mengkritik kebijakan ekonomi lama, tetapi juga mampu melakukan perubahan yang mendasar.

Pada akhirnya, jika Prabowo ingin berhasil mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%, ia harus melepaskan diri dari pola pikir lama dan memulai revolusi dalam pendekatan kebijakan ekonominya.

Tanpa langkah-langkah yang berani dan konsisten, target tersebut akan tetap menjadi mimpi, dan rakyat Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan akan terus terpinggirkan.

*Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

Share

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *