Daya Rusak Jokowi terhadap Sistem Demokrasi Lebih Parah Dibanding Soeharto

Saiful Huda Ems

Share

Oleh: Saiful Huda Ems*

Para pemerhati politik nasional sejak masa Orde Lama (Soekarno), Orde Baru (Soeharto), Orde Reformasi (BJ Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, dan SBY) hingga masa Orde Nepotisme (Jokowi), tentu akan merasakan suka duka hidup sebagai warga negara yang dipimpin oleh para tokoh nasional tersebut.

Namun jika dipikir secara mendalam, kelihatannya kepemimpinan yang terparah dan memiliki daya rusak sistem demokrasi yang sangat tinggi, mau diakui atau tidak adalah di masa kepemimpinan Jokowi.

Mengapa?

Pertama, baik di era Orde Lama maupun di era Orde Baru dan di era Orde Reformasi, politik “sandera” untuk koruptor yang kemudian dijadikan “wayang” politik yang sepak terjang politiknya harus mengikuti instruksi penguasa itu, nyaris tidak pernah ada.

Bahkan sekuasa-kuasanya Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto, keduanya nampak lebih jantan menyikapi lawan-lawan politiknya.

“Kalian korupsi atau memberontak ke saya, berarti kalian harus siap dengan semua konsekensinya; masuk penjara atau kita berperang habis-habisan!” Begitu kira-kira apa yang ada di benak kedua pemimpin nasional tersebut (Soekarno dan Soeharto).

Begitupun di era kepemimpinan BJ Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, maupun Soesilo Bambang Yudhoyono, semuanya terlihat lebih gentle menyikapi pejabat-pejabat dan ketum-ketum partai politik yang bermasalah ataupun menyikapi lawan-lawan politiknya.

Baca Juga  Peringatan untuk Presiden Terpilih Prabowo Subianto

Meski demikian memang untuk kepemimpinan Soeharto, ada yang harus digarisbawahi, yakni sikap otoriterianismenya, dan sikap politik yang lebih mendahulukan pendekatan keamanan (security approach) yang menjurus pada kekerasan.

Maka tak heran di masa kepemimpinan Soeharto terjadi banyak kasus konflik vertikal antara rakyat dan pemerintah yang berujung pada banyaknya korban kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan (polisi dan tentara yang dikenal dengan istilah Dwifungsi ABRI) terhadap warga sipil.

Kedua, fakta politik berbicara, bahwa sengotot-ngototnya rezim Soeharto dalam memaksakan kebijakan-kebijakan pemerintahannya yang harus dipatuhi oleh rakyatnya, Soeharto terlihat sangat jarang memeras rakyat melalui berbagai macam peraturan pungutan pajak yang menjerat rakyat.

Pun demikian dengan yang dilakukan oleh Pemerintahan Orde Lama (Soekarno) maupun di Pemerintahan Orde Reformasi. Ini sangat jauh berbeda dengan situasi di era Orde Nepotisme Jokowi sekarang ini, yang sangat tega memeras rakyat di segala sektor.

Ketiga, di masa Presiden Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri maupun SBY, tidak ada satu pun yang secara terang-terangan menabrak konstitusi untuk memuluskan dan mewujudkan rencana kepentingan pribadinya.

Baca Juga  Rekonsiliasi Jokowi-Megawati = PDIP Baru

Semuanya taat aturan main (peraturan perundang-undangan) yang berlaku, jikapun kemudian terbentur oleh peraturan-peraturan itu, maka semua presiden itu menyiapkan peraturan baru yang harus melewati proses persetujuan dan pengesahan dari lembaga legislatif (DPR).

Ini jauh berbeda dengan apa yang selama ini dilakukan oleh Rezim Nepotis Jokowi, yang biasanya tabrak aturan dulu, baru kemudian mencari cara untuk mendapatkan legitimasinya.

Keempat, tidak ada satu pun dari presiden terdahulu yang menempatkan anaknya di posisi ketua umum partai politik, apalagi menjadi calon wapres. Hanya Presiden Jokowi yang sepertinya lupa diri, tamak, dan rakus jabatan, hingga anak-anaknya diizinkannya untuk jadi cawapres dan ketum parpol.

Yang lainnya mendapatkan keistimewaan memiliki izin pertambangan yang sangat berpengaruh dan bermasalah, serta mendapatkan keuntungan dari berbagai proyek strategis nasional.

Untuk dugaan yang terakhir itu (konon) pernah diungkap oleh Firli Bahuri (mantan Ketua KPK) yang kemudian ia dijadikan tersangka untuk kasus yang lain.

Baca Juga  Rapor Merah Presiden Joko Widodo

Rakyat Indonesia seperti mendapatkan kesialan ketika negara ini dipimpin oleh pembohong kelas berat, yakni Presiden Jokowi. Rakyat banyak yang hidup susah, mencari nafkah hasilnya tak berimbang dengan kebutuhan hidup yang ditanggungnya.

Namun presiden dan anak-anaknya hidup dalam kemewahan, plesiran ke mancanegara menggunakan privat jet yang ongkos sewanya miliaran. Dan keluarganya banyak terindikasi kasus-kasus besar korupsi, namun KPK masih belum juga berani memanggilnya karena mungkin sudah berhasil “dilumpuhkan” dan dikendalikan.

Terus terang sebagai orang yang terus mencermati situasi politik nasional dari zaman Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, hingga Jokowi, saya melihat banyak hasil pencapaian yang didapatkan oleh bangsa dan negara ini.

Namun kemudian semuanya seolah-olah ambruk dan hancur justru di akhir masa jabatan Presiden Jokowi.

Kerukunan sesama warga negara menjadi terasa langka lagi. Sesama umat beragama terjadi benturan yang tiada habis-habisnya, korupsi gila-gilaan, biaya pendidikan (masuk perguruan tinggi) meroket tak keruan, penipuan, serta perjudian semakin tak terkendali. Ada juga kasus pemerkosaan dan pembunuhan di kalangan masyarakat kecil yang kian menggila.

 

*Lawyer dan pemerhati politik

Share

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *