literasi Informasi Kunci Pembangunan Sosial, Budaya, dan Ekonomi Bangsa

Share

Jakarta – Literasi informasi atau kemelekan informasi (melek informasi) adalah kemampuan untuk menemukan dan menggunakan informasi dalam kehidupan. Beberapa organisasi kepustakawanan memiliki definisi berbeda mengenai konsep literasi informasi.

Menurut Chartered Institute of Library and Information Professionals (CILIP), literasi informasi adalah kemampuan berpikir secara kritis dan menarik penilaian secara berimbang terhadap seluruh informasi yang ditemukan dan digunakan.

Kemampuan ini bermanfaat bagi seseorang untuk mencapai dan mengekspresikan pandangan yang berbasis informasi yang memadai serta untuk terlibat sepenuhnya dalam masyarakat.

Sedangkan American Library Association (ALA) mendefinisikan literasi informasi sebagai serangkaian kemampuan yang dibutuhkan seseorang untuk menyadari kapan informasi dibutuhkan dan kemampuan untuk menempatkan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi yang dibutuhkan secara efektif.

Beberapa upaya telah dilakukan untuk menghubungkan literasi informasi dengan beberapa konsep literasi lain yang berkelindan, antara lain literasi komputer, literasi digital, dan literasi berkaitan dengan pemanfaatan perpustakaan.

Di Indonesia, misalnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki program Gerakan Literasi Nasional. Gerakan ini berfokus pada pembangunan aspek literasi dasar yang terdiri atas enam aspek, yaitu literasi baca-tulis, numerasi, sains, finansial, digital, serta budaya dan kewargaan.

Latar belakang

Ungkapan frasa “literasi informasi” pertama kali muncul di media cetak dalam laporan tahun 1974 yang ditulis atas nama Komisi Nasional Perpustakaan dan Ilmu Informasi oleh Paul G. Zurkowski, yang pada saat itu menjabat sebagai presiden Asosiasi Industri Perangkat Lunak dan Informasi.

Baca Juga  Keterampilan Literasi dan Numerasi Tingkatkan Daya Pikir Murid

Zurkowski menggunakan frasa untuk menggambarkan “teknik dan keterampilan” yang dipelajari oleh orang yang melek informasi “untuk memanfaatkan berbagai alat informasi serta sumber utama dalam membentuk solusi informasi untuk masalah mereka” dan menarik garis yang relatif tegas antara “melek” dan “buta informasi”.

Komite Kepresidenan Asosiasi Perpustakaan Amerika tentang Literasi Informasi merilis sebuah laporan pada 10 Januari 1989, yang menguraikan pentingnya literasi informasi, peluang untuk mendengungkan literasi informasi, dan Sekolah Era Informasi.

Nama akhir laporan tersebut adalah Komite Kepresidenan untuk Literasi Informasi: Laporan Akhir. Rekomendasi Komite mengarah pada pembentukan Forum Nasional Literasi Informasi pada tahun itu, sebuah koalisi lebih dari 90 organisasi nasional dan internasional.

Pada tahun 1998, Komite Kepresidenan untuk Literasi Informasi memperbarui laporan akhirnya. Laporan tersebut menguraikan enam rekomendasi dari laporan asli, dan memeriksa bidang tantangan dan kemajuan.

Pada tahun 1999, Society of College, National and University Libraries (SCONUL) di Inggris, menerbitkan model “The Seven Pillars of Information Literacy” untuk “memfasilitasi pengembangan lebih lanjut dari ide-ide di antara para praktisi di lapangan … merangsang perdebatan tentang ide-ide dan tentang bagaimana ide-ide itu dapat digunakan oleh perpustakaan dan staf lain di pendidikan tinggi yang peduli dengan pengembangan keterampilan siswa”.

Sejumlah negara lain telah mengembangkan standar literasi informasi sejak saat itu.

Pada tahun 2003, Forum Nasional Literasi Informasi, bersama dengan UNESCO dan Komisi Nasional Perpustakaan dan Ilmu Informasi, mensponsori konferensi internasional di Praha dengan perwakilan dari dua puluh tiga negara untuk membahas pentingnya literasi informasi dalam konteks global.

Baca Juga  Mengenal Perpustakaan Digital, Akses Wawasan Tanpa Batas

Deklarasi Praha yang dihasilkan menggambarkan literasi informasi sebagai “kunci pembangunan sosial, budaya, dan ekonomi bangsa dan komunitas, lembaga dan individu di abad ke-21” dan menyatakan perolehannya sebagai “bagian dari hak asasi manusia untuk belajar sepanjang hayat”.

UNESCO pada tahun 2008 dalam Information for All Programme menjelaskan bahwa literasi informasi adalah kemampuan individu untuk dapat menyadari kebutuhan informasi, menemukan dan mengevaluasi kualitas dari informasi yang diperoleh, menyimpan dan menemukan kembali informasi, membuat dan menggunakan informasi secara etis dan efektif, serta mengomunikasikan pengetahuan.

Di Amerika Serikat, literasi informasi dijadikan prioritas selama masa jabatan pertama Presiden Barack Obama, yang menetapkan Oktober sebagai Bulan Kesadaran Literasi Informasi Nasional.

Dalam tinjauan literatur yang diterbitkan dalam jurnal akademik pada tahun 2020, profesor Oral Roberts University Angela Sample mengutip beberapa gelombang konseptual definisi IL sejak sekitar tahun 1970.

Beberapa dari pendekatan konseptual luas tersebut termasuk literasi informasi yang didefinisikan sebagai cara berpikir; literasi informasi didefinisikan sebagai seperangkat keterampilan, literasi informasi didefinisikan sebagai praktik sosial.

Gelombang konsep ini di dunia akademik menyebabkan adopsi metaliteracy sebagai mekanisme konsep literasi informasi, dan penciptaan konsep ambang batas dan disposisi pengetahuan, yang akhirnya mengarah pada penciptaan Kerangka Literasi Informasi ALA.

Baca Juga  Pesan Penting Guru kepada Presiden dan Mendikbudristek Mendatang

Aspek pendidikan

Metode dan praktik pendidikan, dalam masyarakat kita yang semakin berpusat pada informasi, harus memfasilitasi dan meningkatkan kemampuan siswa untuk memanfaatkan kekuatan informasi. Kunci untuk memanfaatkan kekuatan informasi adalah kemampuan untuk mengevaluasi informasi, untuk memastikan relevansinya, keasliannya, dan modernitasnya.

Proses evaluasi informasi adalah keterampilan hidup dasar untuk pembelajaran sepanjang hayat. Menurut Lankshear dan Knobel, yang dibutuhkan dalam sistem pendidikan kita adalah pemahaman baru tentang literasi, literasi informasi dan pengajaran literasi.

Pendidik perlu belajar untuk menjelaskan konteks masyarakat kita yang beragam secara budaya dan bahasa dan semakin mengglobal. Kita juga perlu memperhitungkan keragaman bentuk teks yang berkembang terkait dengan teknologi informasi dan multimedia.

Evaluasi terdiri dari beberapa komponen proses termasuk metakognisi, tujuan, disposisi pribadi, perkembangan kognitif, musyawarah, dan pengambilan keputusan. Ini adalah tantangan yang sulit dan kompleks dan menggarisbawahi pentingnya kemampuan berpikir kritis.

Berpikir kritis adalah hasil pendidikan yang penting bagi siswa. Lembaga pendidikan telah bereksperimen dengan beberapa strategi untuk membantu menumbuhkan pemikiran kritis, sebagai sarana untuk meningkatkan evaluasi informasi dan literasi informasi di kalangan siswa.

Ketika mengevaluasi bukti, siswa harus didorong untuk berlatih argumentasi formal. Debat dan presentasi formal juga harus didorong untuk menganalisis dan mengevaluasi informasi secara kritis.

 

 

Rujukan               : id.wikipedia.org/wiki/Literasi_informasi

Sumber                 : Wikipedia

Share

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *