Anies dan Ahok Hanyalah Korban Intrik Mulyono

Saiful Huda Ems

Share

Oleh: Saiful Huda Ems*

PERLAHAN namun pasti, mawar kesadaran itu akan tumbuh dalam jiwa para perindu keadilan di negeri ini. Para perindu keadilan yang selama ini dikondisikan Mulyono untuk tidak bersatu agar singgasana kekuasaannya terus bersinar dengan sorak sorai dari para pendukungnya yang berhasil dikaburkan indera pengamatannya.

Mereka selama ini hanya dijejali hasutan demi hasutan yang tak pernah usai, bahwa Anies adalah sosok politisi berbahaya yang akan mengubah negara dengan sistem Khilafah. Dan pada mereka yang kontra, Mulyono selalu dijejali hasutan demi hasutan bahwa Ahok adalah ;si kafir penista agama’ pembenci Islam yang dilindungi oleh 9 naga.

Memang luar biasa intrik Mulyono yang terus menerus menciptakan benturan demi benturan agar dua sayap Garuda, yakni kaum nasionalis dan Islam retak dan terputus hingga Mulyono berharap langgeng di singgasana kekuasaannya.

Bahkan jika Mulyono tak bisa lagi menjadi raja, Mulyono akan menyusup ke tempat lain untuk menjadi raja diraja dengan menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung yang hendak ia ciptakan untuk mengganti Dewan Pertimbangan Presiden.

Mulyono memang piawai manajemen konflik. Ia ciptakan dua kubu untuk saling berbenturan, lalu ia dengan cerdiknya selalu tampil sebagai pahlawan. Begitulah kemahiran mantan tukang kusen kayu yang dapat merangkai tatal kayu untuk dipadu menjadi tiang kayu besar yang menyangga kursi kekuasaannya. Dahsyat.

Namun sayang, Mulyono rupanya masih belum dapat membedakan mana kayu jati dan mana kayu trembesi. Sepintas warnanya memang serupa, namun urat dan kekuatannya tentu sangat jauh berbeda.

Karena itulah strategi main kayu Mulyono segera terbongkar di akhir masa jabatannya. Kayu trembesi itu merapuh dan singgasana kekuasaannya sudah nyaris runtuh.

Mulyono juga lupa di atas kekuatan ada kekuatan dan di atas kekuatan Mulyono itulah yang dinamakan kesadaran revolusioner rakyat. Mulyono bingung dan kalang kabut, orang yang dikhianatinya ternyata sudah lama melakukan kontemplasi dan evalusi menyeluruh yang menghasilkan kesimpulan bahwa Anies dan Ahok bersama para pendukung fanatik keduanya hanyalah korban dari intrik politik Mulyono.

Baca Juga  Daya Rusak Jokowi terhadap Sistem Demokrasi Lebih Parah Dibanding Soeharto

Apa saja kesimpulan dari hasil kontemplasi panjang sahabat-sahabat Mulyono yang dikhianatinya itu? Berikut adalah rinciannya:

Prestasi Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta moncer karena dukungan Ahok sahabatnya sejati. Namun ketika Ahok-Djarot menjadi calon gubernur dan calon wakil gubernur, apakah Jokowi berjuang menggunakan segala daya upayanya untuk memenangkan mereka, sebagaimana ia memenangkan Gibran dan Kaesang?

Jawabannya adalah tidak. Karena Jokowi khawatir tidak bisa memegang Ahok-Djarot yang lebih berpihak pada Megawati dari pada Jokowi.

Maka dirancanglah operasi khusus. Adalah Buniyani, sosok yang tidak jelas, tiba-tiba tampil di pangung nasional dengan keberanian melakukan editing terhadap ucapan Ahok dan muncullah pergerakan 212.

Kejadian Buniyani sama dengan kejadian ketika demi memunculkan Gibran tiba-tiba muncul mahasiswa UNS yang mengguncangkan MK karena kemampuanya menerobos kedaulatan MK dan memenangkan gugatan MK.

Mahasiswa ini adalah Almas. Apakah ada kemiripan antara Buniyani dan Almas? Mengapa keduanya berhasil? Apakah ada kekuatan penopang di belakangnya? Apakah intelijen POLRI bermain dan memuluskan operasi tersebut?

Setelah Ahok akhirnya masuk penjara karena the banality of evil dari Jokowi, akhirnya terungkap, bahwa Jokowi sama sekali tidak melakukan advokasi terhadap sahabatnya sendiri demi kekuasaan. Siapa yang diuntungkan dari 212, apakah Anies? Tidak. Yang diuntungkan adalah Jokowi. Siapa yang menjadi korban? Ahok, Djarot, PDI Perjuangan, dan Gatot Nurmantyo. Seluruh permainan berlangsung cantik.

Bagi PDI Perjuangan jalan ideologis yang ditempuhnya membawa konsekuensi yang sangat berat. Partai Banteng ini kehilangan hegemoninya di Jawa Barat dan Banten. Apakah Jokowi membantu? Tidak. Apakah para pejuang pro demokrasi kemudian membantu Partai Banteng yang terluka akibat membela kebhinnekaan? Tidak. Ahokers, apakah saat itu juga kemudian membantu memulihkan kerusakan tersebut? Rekam jejak tidak membuktikan itu. Banteng dibiarkan menghadapi tekanan yang terus berlangsung di Jabar, Banten, DKI, Aceh, hingga NTB dan Sumatera Barat.

Baca Juga  Formula Adil Penetapan UMP: KHL, Inflasi, dan Pertumbuhan Ekonomi sebagai Pilar Utama

Apakah Ahokers salah? Tidak! Yang salah adalah Presiden Jokowi yang tidak setia pada sahabatnya, sama dengan ia yang tidak setia pada Ibu tangguh yang membesarkannya, yakni Ibu Megawati Soekarnoputri. Apakah Jokowi ingat perjuangan Ahok dan arus bawah PDI Perjuangan yang telah dengan mati-matian membelanya? Tidak. Bahkan dia membiarkan kriminalisasi terhadap PDI Perjuangan dan membakar rumah yang membesarkannya.

Keputusan Megawati mencalonkan Ganjar-Mahfud MD adalah benar. Ganjar lahir dari keputusan Jokowi dan Mahfud MD lahir dari keputusan Megawati karena kegelisahannya menghadapi KKN. Lalu ternyata Mulyono begitu takut urusan KKN karena itu berarti menimpa keluarga sendiri. Lalu Mulyono berpaling ke Prabowo demi politik dinasti. Siapa yang membakar kandang banteng? Jokowi sendiri.

Lalu menanglah Jokowi. Euforia kekuasaan hadir dalam diri pribadi dan keluarganya sendiri. Maka dirancanglah modus operandi yang sama, untuk mengatur seluruh Pilkada guna memasukan kroni dan keluarganya. Kalau Jokowi memasukkan Kaesang, maka Pratikno memaksa adik kandungnya sebagai Bupati Bojonegoro. Calon yang lain diminta mundur demi kuasa. Sama dengan yang terjadi di Jateng, Jakarta dan Jabar hingga Banten dan Jatim.

Ketika skenario di atur rapi hingga menciptakan KIM Plus, Airlangga berani bertindak sendiri dengan memunculkan Airin-Ade Sumardi. Ini dianggap berkhianat, maka ditebanglah Beringin dan sukses. Kepercayaan diri menggulingkan Airlangga menimbulkan ambisi kekuasaan yang luar biasa.

Tuhan rupanya berkehendak lain. Gara-gara operasi PTUN yang memenangkan Anwar Usman, dan mengancam kepemimpinan Suhartoyo, marahlah para hakim MK, hingga lahirlah keputusan yang memporakporandakan skenario Jokowi dan KIM Plus.

Bukannya tunduk pada konstitusi, ambisi kekuasaan justru menggunakan seluruh kekuatan DPR untuk melawan keputusan MK. Terjadilah krisis konstitusi. Siapa yang dikorbankan? DPR. DPR dipinjam Jokowi untuk melangar konstitusi dan berhadapan dengan rakyat? Siapa yang terkesan bersih dan sepertinya tidak terlibat dalam pembangkangkan konstitusi? Jokowi.

Baca Juga  Dari Pak Raden, Salam untuk Jokowi dan Bu Mega!

Dengan demikian jelasnya, bahwa monster kekuasaan itu bernama Mulyono. Inilah yang harus dihadapi. Anis dan Ahok hanyalah korban dan wayang-wayang bagi Jokowi.

Kini muncul ancaman yang lebih besar lagi terhadap demokrasi. Apa itu? RUU POLRI. Ini kekuasaan POLRI luar biasa. Inilah yang akan dijadikan mesin kekuatan Mulyono setelah sukses menumbangkan Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin. Lalu apakah ada yang berani melawan aparat hukum yang menjadi alat politik Mulyono? Begitu ditekan semua diam. Hanya Megawati Soekarnoputri yang terus berteriak melawan.

Jadi ancaman sebenarnya adalah Mulyono. Siapa yang berhadapan dengan Mulyono adalah kawan demokrasi. Inilah yang terjadi. Begitu terdengar Anies bertemu merah, maka munculah operasi istana. Seluruh influencers istana termasuk Partai Sosmed dikerahkan untuk mendukung Ahok-Rano. Inilah operasi untuk membenturkan kembali Ahok dan PDI Perjuangan dengan Islam. Sementara Mulyono terus asyik memainkan politik devide et impera sebagaimana terjadi di PKB dan Golkar akhir-akhir ini.

Karena itulah ambisi Mulyono harus diakhiri. Kita jutru dorong agar Merah sendiri, Banteng sendiri, yang mencalonkan Anies-Rano berhadapan dengan Kim Plus yang menjadi tangan-tangan kekuasaan Mulyono. Ahokers jangan mau dipecah belah dengan dibenturkan dengan Banteng. Ahokers harus berhadapan dengan blackhole ambisi kekuasaan, Jokowi. Jangan mau dipecah belah lagi. Saatnya kebenaran menang.

Alangkah lebih baik jika Megawati dan Ahok nanti ikut memberikan direction terhadap Anies-Rano? Bukankah Megawati sendiri yang mengatakan Anies harus nurut. Nurut pada jalan Pancasila, konsitusi, demokrasi, supremasi hukum, meritokrasi, dan jalan kerakyatan.

Maka kita harus dorong Megawati untuk memutuskan Anies-Rano, inilah perlawanan sejati terhadap Mulyono. Inilah strategi yang mengagetkan Mulyono. Jangan kita mau dipecah belah. Sebab kredo perjuangan saat ini adalah berhadapan dengan Mulyono.

Selamat datang perlawanan!

 

*Lawyer dan penyambung lidah para sahabat Mulyono yang dikhianati

Share

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *